Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan mendapat teror keji. Wajah penyidik yang kerap menangani kasus-kasus korupsi besar, termasuk mega korupsi e-KTP, tersebut disiram air keras oleh seseorang usai sholat subuh berjemaah di masjid dekat rumahnya di daerah Kelapa Gading,Jakarta Utara.
Sulit untuk menyebut penyerangan terhadap Novel hanya peristiwa kriminal biasa. Meski motifnya harus dibuktikan, tetapi melihat kondisi saat penyerangan terjadi, dipastikan Novel tidak sedang membawa barang berharga sehingga spekulasi perampokan harus dikesampingkan.
Namun menyimpulkan penyerangan tersebut terkait kasus mega korupsi e-KTP yang tengah ditanganinya, masih terlalu gegabah. Apalagi jika mengaitkan dengan pilkada DKI Jakarta di mana sepupu Novel, Anies Rasyid Baswedan maju sebagai calon gubernur. Polisi harus bertindak cepat dan transparan mengusut kasus ini agar tidak menjadi spekulasi liar di tengah masyarakat.
Dari serangkain kemungkinan, yang pasti saat ini kasus mega korupsi e-KTP yang merugikan keuangan Negara hingga triliunan rupiah sudah mulai menapaki jalan terjal. Sejumlah nama gerot sudah disebut dan diperiksa seperti Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Kabar terbaru menyebutkan KPK sudah mencegah Setya Novanto bepergian ke luar negeri.
Dicegah bepergian ke luar negeri oleh KPK tidak serta-merta yang bersangkutan akan menjadi tersangka, KPK pernah melakukan cegah-tangkal terhadap beberapa orang, termasuk Sunny Tanuwidjkaja, tanpa diikuti penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka. Cegah-tangkal dalam ranah penegakan hukum (baca: KPK) dimaksudkan hanya untuk mempermudah yang bersangkutan ketika dimintai keterangan terhadap satu kasus.
Dengan asumsi itu, mestinya status larangan bepergian ke luar negeri yang dikenakan kepada Setya Novanto tidak perlu dibesar-besarkan. Terlebih Setya Novanto selalu mengatakan dirinya warga negara yang baik sehingga pasti akan dengan sukarela datang ke KPK manakala dibutuhkan keterangannya. Dan sebagai warga negara (yang juga baik) kita wajib percaya pada Setya Novanto dan para begundalnya yang telah meloloskan pencurian uang negara yang besarannya setara satu APBD provinsi di Sumatera.
Setya Novanto adalah sosok politisi licin yang dengan mudah menghadapi kasus-kasus hukum. Setya Novanto selalu taat memenuhi panggilan aparat penegak hukum, dari jaksa, polisi hingga penyidik KPK, Dan mungkin karena ketaatannya pula, Setya Novanto selalu lolos dari jerat hukum. Skandal “Papa Minta Saham” hanya salah satu contoh bagaimana kepiawaian Setya Novanto membalik keadaan dari posisi terjepit menjadi pemenang.
Berbekal kepiawaiannya tersebut, begitu merengkuh kursi Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto langsung membawa Golkar ke gerbong istana, sehingga merontokkan geng KMP (Koalisi Merah Putih) pimpinan Prabowo Subianto.Bukan hanya itu, Setya Novanto (baca: Golkar) pun mendeklarasikan dukungan kepada Presiden Joko Widodo untuk masa bakti kedua. Masih kurang? Setya Novanto menginstruksikan kadernya di DPR agar mengkampanyekan Jokowi dalam setiap kunjungan kerja ke daerah, termasuk saat reses. Baliho raksasa bergambar wajah Jokowi dengan dominasi warna kuning pun terpasang di sudut-sudut strategis.
Setya Novanto berusaha keras meyakinkan Jokowi jika dukungan yang diberikan sangat tulus disertai aksi nyata di lapangan. Bandingkan dengan PDIP, juga partai-partai pengusungnya pada PIlpres 2014 lalu. Sampai hari ini, jangankan baliho, sepotong kata dukungan untuk Pilpres 2019 pun belum pernah terucap!
Tetapi nyatanya Jokowi benar-benar- seperti pernah dikatakan Setya Novanto, koppig. Jokowi tidak berusaha melindungi dirinya dari jerat hukum. Jokowi “membiarkan” KPK membidik Setya Novanto. Meski proses hukum masih panjang, sulit bagi Setya Novanto untuk menghindari opini publik yang sudah memutus dirinya terlibat dalam kasus mega korupsi e-KTP.
Ternyata Setya Novanto salah strategi. Politik merangkul (pemerintah) tidak efektif. Jokowi benar-benar ngga ngaruh dengan dukungan Golkar saat ini dan janji dukungan pada PIlpres 2019. Jokowi lebih memilih melakoni nasibnya sendiri tanpa mau bergantung pada janji Setya Novanto.