Hingga hari terakhir pendaftaran calon ketua umum Partai Golongan Karya (Golkar), hanya enam orang yang menyetor uang pendaftaran sebesar Rp 1 miliar. Lainnya menolak menyetor mahar dengan berbagai alasan. Munculnya biaya pendaftaran salah satunya diakibatkan karena tidak adanya calon kuat yang akan bertarung memperebutkan posisi ketua umum dalam ajang musyawarah luar biasa (munaslub) yang akan digelar 15 Mei mendatang di Nusa Dua Bali.Â
Bakal calon ketua umum Partai Golkar yang sudah lolos sebagai calon adalah Aziz Syamsudin, Mahyudin, Setya Novanto, Ade Komarudin, Airlangga Hartarto, dan Priyo Budi Santoso. Sesuai ketentuan, mereka pun sudah membayar biaya pendafataran sebesar Rp 1 miliar. Sementara dua bakal calon lainnya yakni Indra Bambang Utoyo dan Syahrul Yasin Limpo tetap menolak membayar uang iuran Rp 1 miliar.
Baik Indra Bambang Utoyo maupun Syahrul Yasin Limpo beralasan keengganannya membayar biaya pendaftaran karena terkait prinsip. Selain adanya imbauan dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang menggolongkan iuaran tersebut sebagai gratifikasi, Indra juga kuatir model mahar semacam itu akan diikuti saat pemilihan ketua DPD I dan II sehingga menutup kesempatan bagi munculnya kader-kader potensial yang tidak memiliki uang. Akhirnya partai akan dikendalikan oleh sosok-sosok berduit dengan kualitas pas-pasan, sementara Yasin Limpo menegaskan kepemimpinan tidak boleh dikaitkan uang, tapi ketulusan dan kemauan untuk membesarkan partai, bukan dengan mempertaruhkan idealisme,
Tetapi dipastikan mereka tidak akan menyerah begitu saja. Dengan alasan memperjuangkan prinsip, keduanya akan membawa soal iuran tersebut saat munas digelar. Minimal mereka masih bisa memanfaatkan celah saat pembahasan tata tertib pencalonan ketua umum. Bagaimana jika akhirnya mereka benar-benar gagal menjadi calon ketua umum? Bukan hal yang aneh manakala mereka kemudian cabut dari Golkar. Artinya, munaslub yang diharapkan menjadi ajang pemersatu semua faksi di tubuh Golkar menjadi sia-sia. Meski dampaknya tidak akan sedasyat kemarin saat muncul dua kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, tetapi tetap saja akan menggerogoti kekuatan beringin tua yang sudah kehilangan kharisma politiknya serta merocoki jalan konsolidasi yang tengah dirintis.
Jika mahar bakal menjadi (salah satu) potensi perpecahan (kembali) di tubuh Golkar, mengapa Streering Commite (SC). Menurut ketuanya, Nurdin Halid, mahar dimaksudkan untuk menghindari terjadinya money politics. Bukan rahasia lagi, selama ini calon ketua umum yang akan membayar semua biaya kegiatan munas dengan agenda pemilihan ketua umum. Seluruh biaya Munas Golkar 2004 dibayar oleh Jusuf Kalla yang kemudian terpilih menjadi ketua umum mengalahakan Akbar Tandjung. Demikian juga saat Aburizal Bakrie menumbangkan Surya Paloh pada Munas 2009 di Riau.
Pertanyaan menariknya, mengapa Golkar tidak melanjutkan tradisi itu tapi justru membebankan biaya kongres pada seluruh calon ketua umum?
Saat ini tidak ada kekuatan dominan di tubuh Golkar. Dengan tidak adanya calon kuat, panitia kebingungan untuk meminta biaya munas,sementara kas organisasi kosong setelah terjadi kemelut berkepanjangan sehingga setoran wajib para kader yang duduk di legislatif dan eksekutif tidak maksimal. Saran dedengkot Golkar, Akbar Tandjung agar panitia menggunakan lokasi yang sewanya lebih murah, seperti asrama haji di Jawa, sebenarnya cukup masuk akal. Namun hal itu jelas ditolak elit Golkar karena dianggap merendahkan martabat partai. Apa kata dunia, partai penguasa orde baru, berisi kader-kader muda kaya-raya, menggelar munas yang akan mengambil keputusan penting dilakukan di tempat ‘murahan’.
Dari enam calon ketua umum yang sudah lolos seleksi pendaftaran, tidak ada satu pun yang memiliki kekuatan riil baik di DPD I maupun DPD II. Mereka kader-kader elitis yang jarang menjejak kakinya di DPD. Jika pun Mahyudin sering keliling DPD dalam kapasitasnya sebagai Ketua Bidang Organisasi DPP Golkar, pengaruhnya tidak mengakar karena kehadirannya hanya mewakili ketua umum, bukan inisiatif pribadi.
Mahyudin akan berebut suara DPD yang berada di kubu Agung Laksono  dengan Priyo Budi Santoso. Sementara kekuatan Aburizal Bakrie akan diperebutkan oleh Setya Novanto, Aziz Syamsudin dan Ade Komarudin. Airlangga Hartarto hanya mungkin menang jika DPD-DPD sepakat untuk melebur suaranya demi kejayaan Golkar tanpa melihat faksi-faksi sebelumnya. Waktu seminggu terlalu sempit bagi calon ketua umum untuk menyambangi seluruh DPD se Indonesia. Jalan yang paling mudah adalah mengundang perwakilan DPD ke Jakarta. Itu artinya akan keluar biaya lagi yang tidak sedikit. Tidak usah bermimpi bahwa pengurus daerah mau datang ke Jakarta untuk mendengarkan pidato politik calon ketua umum tanpa ada imbalan. Artinya, semangat yang disampaikan Nurdin Halid terkait mahar Rp 1 miliar, hanya bualan yang tidak lucu. Munaslub akan tetap diwarnai money politics. Ibarat pasar malam, munaslub yang tadinya diharapkan menjadi ajang rekonsiliasi dan merenda carut-marut yang ada, hanya akan dipenuhi balon warna-warni dan celoteh anak-anak yang baru belajar berjalan.  Â
Terlepas dari itu, siapa pun yang akhirnya terpilih menjadi ketua umum DPP Partai Golkar, setumpuk tugas berat sudah menanti. Selain merangkul seluruh kekuatan internal, dia juga harus mampu mengembalikan komunikasi poltik partai yang kemarin sempat fals karena dipaksa menghela beban berat demi harga diri seorang Aburizal Bakrie. Akibatnya banyak keputusan politik Golkar yang tidak sejalan dengan realita di lapangan.
Ketua umum baru hasil munaslub Bali harus mampu mengembalikan marwah partai dengan (salah satunya) masuk ke dalam pemerintahan. Jika publik sudah bisa menangkap siapa yang memiliki semangat, maka pemenang pemilihan ketua umum Partai Golkar, sudah bisa ditebak. Tentunya dia bukan berasal dari faksi Jusuf Kalla, apalagi Agung Laksono. Bagi Presiden Joko Widodo, membiarkan kader JK menguasai Golkar, sama saja membuat ranjau yang akan menghalangi kebijakan-kebijakannya ke depan. Untuk itu, imbauan Akbar Tandjung, bahwa sudah saatnya mengembalikan kepemimpinan Golkar kepada kader beretnis Jawa, setelah tiga periode dipegang kader non Jawa, dapat dijadikan entry point untuk memetakan kekuatan yang ada.