Sulit untuk mendapatkan data terbaru terkait komposisi penduduk DKI berdasarkan suku bangsa. Tetapi jika mengacu pada data sensus tahun 2000, penduduk DKI yang beretnis Jawa mencapai 35,16 persen, mengalahkan jumlah penduduk DKI dari etnis Betawi, Sunda maupun Tionghoa. Tidak heran jika suara Jawa dalam gelaran pilkada DKI sangat seksi. Konon salah satu faktor kekalahan Fauzi Bowo dalam Pilkada 2012 lalu karena gagal mendekati pemilih Jawa.
Jauh sebelum gelaran Pilkada DKI 2017, penulis pernah menyinggung terkait tutur kata Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang ceplas-ceplos dan (terkesan) arogan. Sehebat apapun prestasi yang ditoreh, Ahok tidak akan diterima menjadi pemimpin di lingkungan komunitas Jawa. Meski telah berada di perantauan, bahkan lahir di Jakarta, orang Jawa tetap njawani. Tidak beda dengan warga Tionghoa, Batak atau suku bangsa lainnya. Pertemuan dengan budaya lain, hanya sedikit mempengaruhi cara pandang dan mungkin perilaku. Orang Jawa modern tidak benar-benar tercerabut dari akar budayanya, kecuali untuk hal-hal yang dianggap sebagai ritual klenik karena bertentangan dengan agama yang dianutnya.
Entah karena mendapat bisikan untuk mendekati pemilih Jawa secara lebih personal, atau memang ingin mengubah intonasi suaranya agar terdengar lebih pelan sehingga tidak terdengar meledak-ledak layaknya orang marah, dalam beberapa kesempatan terakhir Ahok kerap menggunakan Bahasa Jawa. Misalnya saat meresmikan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA) Kalijodo, Jakarta, Rabu, 22 Februari 2017. Dengan sedikit terbata Ahok berujar, “Penak zamanku to, dadi gubernur? Iso tuku daging murah Rp 35 ribu. Sakit ora bayar.”
Ucapan berupa salam khas Jawa seperti sugeng ndalu (selamat malam), juga kerap terucap. Bahkan Ahok mengaku ingin dikenal sebagai Basuki agar terkesan sebagai orang Jawa. Kita menghargai upaya yang dilakukan Ahok. Tidak ada salahnya meninggalkan kebiasaan (yang oleh sebagian kalangan dianggap) buruk.
Tetapi bagaimana jika upaya menjadi Jawa itu ternyata hanya kedok untuk meraih dukungan suara dari komunitas Jawa karena Ahok yang berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat akan kembali bertarung pada putaran kedua Pilkada DKI melawan pasangan Anies Rasyid Baswedan – Sandiaga Salahuddin Uno? Tentu sah-sah saja. Beberapa tokoh yang di masa sebelumnya juga pernah melakukan hal yang sama saat mengikuti kontestasi politik. Persoalannya adalah, apakah komunitas Jawa sedemikian “bodoh” sehingga mudah “ditipu” dengan gincu sesaat?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya kita melihat dulu penyebab kegagalan Djarot merepresentasikan diri sebagai “wakil” Jawa dalam gelaran pilkada DKI putaran pertama. Djarot terbawa permainan PDI Perjuangan sehingga dirinya muncul sebagai “wakil” kaum nasionalis ketimbang wong Jawa. Sekat-sekat primordialisme coba dihancurkan oleh Djarot (juga Ahok) dengan “menolak” dukungan kelompok masyarakat berbasis kesukuan. Sepanjang pengetahuan penulis, baik Djarot maupun Ahok jarang bertemu dengan kelompok masyarakat berbasis kedaerahan. Satu-satunya acara kedaerahan yang dihadiri Ahok adalah pertemuan warga Bangka-Belitung di Jakarta yang saat itu juga dihadiri Yusril Ihza Mahendra.
Akibatnya, di kalangan masyarakat Jawa yang ada di Jakarta, Djarot tidak dipandang sebagai wakil mereka. Tidak ada keterikatan emosional antara Djarot dengan warga Jakarta yang berasal dari Jawa Tengah, bahkan Jawa Timur sebagai tempat asalnya. Orang Jawa yang memilih Ahok-Djarot pada putaran pertama pure karena alasan kinerja, kesamaan sebagai warga PDI Perjuangan, dan beberapa alasan lain yang bersifat pribadi.
Djarot tertinggal selangkah dibanding Anies yang kerap mengunjungi dan menegur warga Jakarta beretnis Jawa dengan Bahasa Jawa. Bisa dipastikan, orang-orang Jawa sepuh yang sempat ditegur Anies dengan menggunakan Bahasa Jawa halus, akan luluh hatinya untuk kemudian dengan sukarela memberikan suaranya. Bagi yang lama tinggal di luar daerahnya, dan suatu ketika pernah ditegur oleh orang lain menggunakan bahasa ibunya, pasti bisa memahami respek dan juga sensasi yang diterimanya. Meski baru bertemu, kita sudah merasa akrab dan nyaman.
Menjadi nasionalis, menjadi warga bangsa, bukan berarti meninggalkan budaya asal. Bukankah adat dan budaya daerah yang memperkaya budaya nasional? Siapa yang akan melestarikan Bahasa Jawa jika bukan orang Jawa? Siapa yang melestarikan tari Serampang Dua Belas jika bukan orang Deli sendiri? Kita gampang meledak ketika bangsa lain mengklaim budaya kita, tetapi pada saat bersamaan kita terus-menerus menggerusnya. Sungguh ironis!
Benar, sekat-sekat primordial harus dihancurkan ketika kita bicara tentang persatuan dan kesatuan. Kotak-kotak kedaerahan harus disingkirkan manakala kita menyatakan diri sebagai warga bangsa. Perilaku kesukuan harus dibuang saat duduk semeja dengan saudara-saudara sebangsa. Tetapi menghilangkan jati diri, menghilangkan budaya dan adat istiadat asal dari dalam diri kita sendiri, adalah kebodohan.
Dalam konteks ini maka dapat dipahami bahwa gerakan politik yang dilakukan melalui pendekatan budaya dan adat istiadat calon pemilih bersifat personal. Menyentuh titikl rasa pemilih secara secara langsung. Dengan alasan ini juga, apa yang dilakukan Ahok tidak bisa disebut terlambat. Jika kemudian pemilih (Jawa) pada putaran kedua memilih Basuki_Djarot juga tidak bisa disebut sebagai korban “tipu-tipu” pencitraan Ahok. Mereka memiliki sense sendiri untuk menilai dan merasakan getaran yang timbul. Ketulusan tidak bisa dibaca dari penampilan, tetapi bisa dirasakan saat berinteraksi. Itu sebabnya, meski Agus Harimurti Yudhoyono sudah mendekati paguyuban Sunda, Batak, Betawi dan lain-lain, tetap gagal mendulang suara siginifikan karena sangat mungkin mereka yang hadir dalam pertemuan-pertemuan itu tidak merasakan getaran ketulusan.