Dalam beberapa hari belakangan ini, pasangan petahana Pilgub DKI Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat kesulitan melakukan kampanye karena ada penolakan warga. Beberapa kali mereka, terutama Ahok, terpaksa membatalkan kampanye dengan alasan keamanan. Mengapa sebagian waga Jakarta menjadi preman begitu? Ayo, buktikan kalau warga Jakarta bisa berdemokrasi dengan baik, bisa memisahkan aspirasi politik dan agama.
Penolakan warga di sejumlah tempat terkait erat dengan dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok saat berpidato di Kepulauan Seribu. Tercatat sudah enam kali terjadi penolakan warga terhadap Ahok dan Djarot seperti dikutip  di sini
Padahal terkait kasus dugaan penistaan agama, umat Islam sudah dua kali menggelar demo dan saat ini proses penyelidikan tengah dilakukan polisi. Bareskrim Polri juga sudah memeriksa Ahok. Bahkan Presiden Joko Widodo sudah menjanjikan proses penyelidikan kasus dugaan penistaan agama akan selesai dalam waktu dua minggu, terhitung sejak 4 November.
Sementara sambil menunggu proses penyelidikan di Bareskrim, wajar jika Ahok melakukan kampanye. Hal itu sudah sesuai aturan dan jadwal yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum sehingga warga tidak boleh melakukan penolakan. Menolak kehadiran Ahok di satu tempat/daerah, adalah pelanggaran hukum yang serius. Warga harus berani membedakan antara satu masalah dengan masalah lainnya. Kasus penistaan agama tidak ada hubungannya dengan kampanye pilgub. Biarkan proses hukum berjalan, beriringan dengan proses politik.
Jika memang merasa Ahok tidak layak lagi menjadi Gubernur DKI, silahkan gunakan hak politik Anda untuk tidak memilihnya pada pilgub mendatang. Â Hal itu jauh lebih elegan dan bermartabat. Jangan cederai proses demokrasi dengan hal-hal yang justru akan merugikan citra warga Jakarta secara keseluruhan. Jangan masuk perangkap pihak-pihak yang ingin menciptakan kesan warga Jakarta rasis dan belum dewasa dalam berpolitik.
Mari kita dorong proses hukum kasus dugaan penistaan agama. Kawal dan awasi prosesnya agar hasilnya sesuai dengan kaidah dan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak ada diskriminasi, tidak ada pula pengistimewaan. Memastikan jika semua warga negara memiliki kedudukan hukum yang setara. Dengan melakukan aksi-aksi premanisme, menghadang dan menolak kedatangannya, sementara Ahok memiliki hak untuk datang dan mengkampanye programnya, sama saja dengan melegalkan sikap anarkhis dan memposisikan diri berada di atas hukum!
Jangan beranggapan warga juga memiliki hak untuk menolak siapa yang disukai dan siapa yang tidak disukai. Hal itu tidak ada dalam aturan dan perundangan-undangan yang berlaku. Terlebih dengan statusnya sebagai calon gubernur, kegiatan Ahok resmi dan diperbolehkan serta dilindungi oleh undang-undang.
Semakin keras segelintir orang menolak Ahok, semakin teraniaya posisinya, dan semakin banyak orang yang akan bersimpati. Kemenangan Donald Trump dalam pemelihan presiden Amerika Serikat adalah bukti sahih akan kebenaran teori itu. Ataukah mereka yang menolak Ahok sebenarnya tengah memainkan politik itu?
Ingat, meski kelak Ahok bersatus tersangka, bahkan terdakwa, tidaklah gugur pencalonannya. Artinya Ahok tetap memiliki peluang untuk memenangkan pilgub. Jika sudah begitu, siapa yang bodoh?
Kita ingin mendapatkan gubernur yang bersih, pekerja keras dan santun kepada rakyat. Hal itu hanya mungkin terwujud jika kontestasi untuk memilih gubernur dilakukan secara jujur, adil , sehat dan bermartabat. Jangan paksa siapa pun untuk memilih calon pemimpin atas dasar sentimen pribadi.
Sudahi kekerasan dan intimidasi. Biarkan proses demokrasi berjalan dengan baik. Jangan cederai dengan aksi anarkis. Â Â