Apa yang Anda pikirkan ketika melihat punggung mulus Tyas Mirasih disertai caption “Cara terbaik untuk menyerang balik para haters adalah dengan membuatnya tampak jelas bahwa serangan mereka tidak berdampak pada Anda"?
Apa pula tanggapan Anda membaca berita heboh liburan Nikita Mirzani ke Hongkong? Dalam foto selfie yang diunggah, Nikita tampak sangat menikmati liburannya.
Atau, mari mundur sejenak untuk merenungi ralat pelacur cantik Anggita Sari bahwa tubuhnya memang bisa dinikmati oleh siapa saja yang sanggup membayar Rp 20 juta, bukan Rp 8 juta seperti yang ditulis media massa. Anggita merasa perlu meralat berita tarif dirinya karena dia tidak ingin dikesankan sebagai artis ‘murahan’ dalam hal layanan ranjang. Kesan apa yang ada di hati Anda?
Seperti diketahui Tyas, Anggita dan Nikita sempat disangkutpautkan dengan praktek prostitusi artis.
Lalu komentar apa yang ingin Anda ungkapkan saat melihat tersangka korupsi mengenakan baju tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi tampil dengan di depan kamera dengan wajah innocence - bahkan beberapa di antaranya mengumbar tertawa renyah sambil cipika-cipiki dengan koleganya?
Jika hal tersebut terjadi 30 atau 20 tahun lalu, sebagian dari kita pasti merasa muak dan mual. Di era itu, orang yang sudah ditangkap polisi, apalagi masuk penjara- terlepas kelak dalam persidangan dia dinyatakan bersalah atau tidak, langsung mendapat stigma buruk dari masyarakat. Orang yang sudah keluar penjara pun- artinya sudah menebus kesalahannya, masih tetap disingkirkan dalam pergaulan, sehingga tidak akan mungkin menduduki suatu kepengurusan di dalam organisasi masyarakat semisal RT atau majelis kekerabatan/keagamaan. Lagu “Kalian Dengarkanlah Keluhanku” karya Ebiet G Ade yang dirilis tahun 1982 adalah gambaran bagaimana hukuman yang berlaku di masyarakat tidak akan selesai meski yang bersangkutan sudah menjalani hukuman negara (penjara).
Demikian juga halnya jika seseorang sudah mendapat label pelacur. Dia akan disingkirkan dari keluarga dan pergaulannya karena dianggap sebagai pembawa aib. Teman bergaul kita adalah cermin terluar yang dipakai orang lain untuk menilai diri kita. Jika kita berteman dengan pelacur, maka stigma bahwa diri kita pun tidak jauh berbeda dengan teman kita, otomatis akan kita dapatkan.
Namun hari ini kita menjumpai kenyataan bahwa hal-hal semacam itu tidak berlaku lagi. Pelacur tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Demikian juga koruptor. Tidak sedikit pendukung Anas Urbaningrum yang meyakini Anas bukan koruptor. Anas hanya dijebak oleh kekuasaan yang tidak menginginkan dirinya semakin meroket dan berpotensi menjadi pesaing sang pendiri partai tempatnya bernaung. Ketika disodori fakta persidangan bagaimana harta Anas bertambah berlipat-lipat dalam waktu lima tahun terakhir- tidak sebanding dengan pendapatannya sebagai mantan ketua KPU dan anggota DPR, tetap saja para pendukung tidak peduli.
“Semua pejabat juga korupsi. Mengapa hanya Anas yang ditangkap?” gugat pendukungnya.
Aku menduga mayoritas kader-kader Partai Keadilan Sejahtera pun tetap beranggapan tuduhan korupsi kepada mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq merupakan konspirasi untuk menghancurkan partai dakwah tersebut.
Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah telah terjadi dekandensi moral di tengah masyarakat kita?