Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Salut untuk Polisi dalam Proses Gusuran Luar Batang

11 April 2016   12:56 Diperbarui: 11 April 2016   13:08 2000
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin belajar dari kasus penggusuran di Kalijodo Jakarta Barat, kali ini ratusan aparat kepolisian hanya mengawal Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang tengah melakukan penggusuran rumah warga di Luar Batang Jakarta Utara, khususnya Pasar Ikan dan sekitarnya. Bahkan ketika terjadi ketegangan antara warga dengan Satpol PP, Kapolsek Penjaringan AKBP Ruddi Setiawan turun tangan dengan mengimbau agar aparat menurunkan tensi sehingga suasana kondusif.

"Tolong, suasana sudah kondusif. Aparatnya jangan ada keributan. Tolong," ujar Ruddi di kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin, seperti dikutip di sini 

Hal itu berbeda dengan sikap represif aparat kepolisian saat melakukan penggusuran di Kalijodo. Saat itu bahkan tidak tampak anggota Pol PP karena didominasi polisi dan tentara. Sebelum hari ‘H’ penggusuran, polisi pun melakukan ‘provokasi’ terhadap warga dengan melakukan razia senjata tajam dan membuat berita heboh tentang adanya rencana perlawanan warga dengan ditemukannya ratusan anak panah, yang ternyata sampai hari ini barangnya belum pernah dirilis ke media.

Terlepas kontroversi objek gusuran, tindakan persuasif polisi dan hanya menjadi pengawal Satpol PP ketika melakukan penggusuran rumah-rumah di kawasan Luar Batang, patut diapresiasi. Begitulah mestinya sikap aparat keamanan. Penggusuran adalah dalam rangka penegakan peraturan daerah sehingga menjadi domainnya Satpol PP, bukan polisi apalagi tentara. Polisi adalah alat negara, bukan alat kekuasaan. Polisi hanya bertindak manakala ada potensi kerusuhan. Polisi tidak boleh menjadi pembela kekuasaan manakala terjadi konflik antara rakyat dengan penguasa sepanjang belum menjurus pada tindakan anarkhi.  Polisi harus menjadi pengawal dan pelindung kedua pihak- penguasa dan rakyat, yang terlibat dalam sebuah sengketa.

Mungkin ada yang berpendapat, sikap represif aparat kepolisian dalam gusuran Kalijodo karena potensi terjadinya kericuhan sangat tinggi mengingat lokasi tersebut merupakan tempat hiburan malam yang dibeking preman semacam Daeng Aziz. Jika benar itu alasannya, izikan aku tertawa sejenak. Gusuran mana yang tidak berpotensi terjadinya bentrokan? Bukankah gusuran Kampung Pulo yang tidak ada premannya juga akhirnya bentrok?

Seorang pemimpin mestinya mampu meminimalisir terjadinya bentrokan, bukan dengan tindakan represif aparat bersenjata. Gusuran Tanah Abang yang konon dipenuhi preman, ternyata bisa kondusif. Mengapa? Karena pola pendekatan persuasif yang dipakai Gubernur DKI Jakarta (saat itu) Joko Widodo dapat diterima warga. Jangan menggunakan label preman untuk membenarkan suatu tindakan represif. Pemimpin harus bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan rakyatnya. Pemimpin harus mampu ‘mengambil’ hati rakyatnya sehingga rakyat akhirnya paham dan mau menerima kebijakan yang ‘menyakitkan’ itu tanpa disertai amuk massa. Tidak perlu menciptakan tokoh dongeng yang beringas untuk kemudian dijadikan alas pembenar tindakan represif.

Memang membutuhkan waktu lebih lama manakala dilakukan pendekatan persuasif. Jokowi juga harus berkali-kali mendekati rakyatnya yang hendak digusur. Dan itu bukan sebuah dosa. Namun memang pola ini hanya mungkin bisa dilakukan oleh pemimpin yang benar-benar menjiwai arti kepemimpinannya. Bahwa dirinya hadir untuk melayani seluruh rakyat di wilayahnya, bukan hanya melayani satu dua orang yang sudah menyumbangkan uang untuk membuat jamban. Mereka yang bersalah karena jualan di trotoar atau mendiami tanah negara, tetaplah rakyat pemilik republik ini. 

Mereka tetap memiliki hak yang sama dengan rakyat yang rajin memberikan upeti. Bukankah negara ini dibangun dengan salah satu kewajibannya untuk melindungi orang-orang yang lemah dan papa seperti mereka? Jangan merasa sudah membayar pajak, sudah membayar upeti, lantas dengan arogan minta warga lainya disingkirkan karena mengganggu pemandangan, mengganggu usahanya. Jangan karena demi memanjakan mata para calon pembeli apartemen nan mewah di atas pulau reklamasi, rakyat miskin dikorbankan.  

Kita semua bercita-cita menjadikan negeri ini makmur sentosa, berkeadilan dan berguna bagi semua umat yang berdiam di dalamnya. Kita ingin terciptanya sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo, baldatun toyyibatun warobbun ghofur. Adalah tugas para pemimpinnya untuk membimbing rakyat yang masih miskin, kelaparan, dan hidup dalam kekurangan. Namun hal itu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara represif.

Jangan membakar kota untuk menghilangkan orang miskin, untuk menutupi kelemahan kepemimpinannya.  

Salam @yb  

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun