Sepintas Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi penyelamat skenario Presiden Joko Widodo pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Meski Basuki Tjahaja Purnama, calon yang didukung partai pemerintah, kalah tetapi Jakarta masih dalam jangkauan Jokowi yang meyakini Anies Rasyid Baswedan mampu memimpin Jakarta. Setulus itukah Prabowo? Bagaimana jika kemudian Prabowo “memanfaatkan” Anies untuk menantang Jokowi?
Ada dua kisi-kisi yang bisa dijadikan pintu masuk untuk memahami konstelasi poltik- meminjam istilah Sandiaga Salahudin Uno, tingkat tinggi terkait Pilgub DKI Jakarta 2017 serta pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. Kebetulan kisi-kisi itu diungkap oleh dua pentolan Partai Amanat Nasional (PAN) yakni Ketua Umum Zulkifili Hasan dan Ketua Dewan Kehormatan Amien Rais.
Kisi-kisi pertama terkait “intervensi” Wakil Presiden Jusuf Kalla yang akhirnya mengubah pasangan calon (paslon) yang diusung Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera. Ketetapan untuk mengusung Sandiaga Salahudin Uno – Mardani Ali Sera menurut Zulkifli mendadak berubah setelah JK menelpon dini hari menjelang penutupan pendaftaran paslon oleh KPU. JK menyodorkan nama mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, yang belum lama “dipecat” Jokowi.
“Kejujuran” Zulkifli Hasan sontak membuat publik terperangah. Ada yang menilai manuver JK merupakan bentuk perpecahan di kubu Istana. Sebagai petugas partai, Jokowi tentu mendukung jagoan PDIP. Begitu pemahaman awam. Sebuah penilaian yang sangat prematur karena mengabaikan fakta bahwa Anies “orangnya” Jokowi. JK hanya menyampaikan pesan Jokowi sehingga Prabowo antusias dan bersedia mengubah ketetapannya. Prabowo tidak akan mau mengikuti “nasehat” JK jika tidak membawa nama Jokowi. Mengapa?
Pertama, rivalitas Prabowo dan JK sudah berurat-berakar sejak keduanya masih di Golkar. Prabowo menentang kepemimpinan JK di Golkar yang dinilainya bermental uang. Di era JK, Prabowo mendirikan Partai Gerindra dan melakukan penggembosan besar-besaran. Prabowo baru klikkembali setelah Golkar dikendalikan Aburizal Bakrie.
Kedua, meski Golkar secara resmi mengusung pancalonan Prabowo - Hatta Rajasa, namun JK terang-terangan membawa sebagian kader Golkar untuk mendukung dirinya dalam Pilpres 2014. Perseteruan Prabowo dan JK kembali memanas. Jokowi memanfaatkan kondisi itu sehingga tidak pernah melibatkan JK dalam komunikasi politik nasional, terutama yang berkaitan dengan Prabowo.
Ketiga, Prabowo meyakini JK- bersama Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Hanura (saat itu) Wiranto, berada di balik perpecahan Golkar dan Koalisi Merah Putih (KMP) karena JK memiliki ambisi mengendalikan Golkar untuk tujuan politik jangka panjang, terutama Pilpres 2019.
Ketiga fakta tersebut, ditambah pengakuan JK dirinya menyodorkan Anies dengan pertimbangan- salah satunya, kedekatan Anies dengan Jokowi, adalah alas pembenar bahwa yang dilakukan JK hanyalah meneruskan pesan Jokowi. Skenario dua kaki Jokowi di Pilgub DKI sudah pernah ditulis di sini jauh sebelum pelaksanaan pilkada serentak 2017.
Jika Prabowo menerima Anies karena Jokowi, lalu mengapa tiba-tiba beredar selentingan Prabowo akan menggandeng Anies pada Pilpres 2019 sebagaimana yang ditangkap dari komentar pedas Amien Rais?
Prabowo sudah membuktikan dirinya memiliki feeling politik yang tajam. Dua kali kemenangan beruntun di Pilgub DKI adalah bukti sahih. Kemenangan jagoan Gerindra kali ini tidak terlepas dari kalkulasi matang untuk persiapan 2019. Prabowo bukan hanya berhasil memaksa PKS mengikuti alur politiknya- mempersiapkan Sandiaga Uno, kadernya, untuk memimpin Jakarta, tetapi juga sukses memanfaatkan politik dua kaki Jokowi.
Bagaimana memahaminya?