Hiruk-pikuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta membaha hingga ke sudut-sudut negeri yang berjarak ribuan kilometer. Memancarkan tanya sekaligus pesimistis akan keberlangsung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Quo vadis? What next? Berlebihankan pertanyaan-pertanyaan itu?
Pilkada Jakarta hanyalah sebuah hajat demokrasi biasa sebagaimana pilkada-pilkada di tempat lain. Isu-isu SARA; pribumi vs non-pribumi, putra daerah vs pendatang, Jawa vs luar Jawa, Islam vs kafir, sudah pernah dan akan terus terdengar sepanjang kita masih sepakat menganut sistem demokrasi liberal (Barat). Salah besar jika menganggap isu-isu yang mencuat dalam Pilkada Jakarta akan dijadikan contoh pada pilkada-pilkada di daerah. Sebab isu-isu yang disebutkan di atas sudah terjadi di daerah sejak awal diberlakukannya pilkada secara langsung, jauh sebelum gelaran Pilkada Jakarta 2017.
Bukankah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sudah mengalami hal semacam itu saat mengikuti Pilkada di Belitung Timur dan Bangka Belitung? Bukankah calon gubernur Anies Rasyid Baswedan sudah merasakan kejinya fitnah saat menjadi juru bicara pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla pada Pilpres 2014 lalu?
Kita maklumi saja munculnya rasa cemas dan takut ketika ‘melihat’ perang opini para pendukung dan simpatisan pasangan calon Ahok-Djarot Saiful Hidayat dan Anies-Sandiaga Salahuddin Uno di media-media online. Sekali lagi, perang opini itu masih dalam taraf wajar jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di daerah-daerah, terlebih pada pilpres lalu. Pilkada Jakarta 2017 tidak akan menggoyah, apalagi menghancurkan sendi-sendi kebangsaan kita. Terlalu kecil jika menempatkan Pilkada Jakarta sebagai ujian kebangsaan kita.
Indonesia sudah mengalami beberapa fase pahit dalam sejarah berbangsa dan bernegara. Tidak terhitung peristiwa pemberontakan bersenjata, gerakan sparatis untuk memisahkan suatu daerah dari pangkuan NKRI, kerusuhan berbau sektarian, agama dan suku. Bahkan mungkin sebagian dari kita ikut menjadi korban. Tetapi kita selalu punya cara untuk melupakan dan tetap bersama merajut sejarah di bawah naungan Merah Putih. Tidak berlebihan jika dikatakan, Indonesia sudah melewati ujian kebangsaannya. Bangsa Indonesia sudah membuktikan diri sebagai bangsa beradab, bangsa yang demokratis, yang bisa menerima perbedaan, keragaman, kemajemukan suku dan juga agama.
Bahwa ada sekelompok masyarakat yang membenarkan jalan “kekerasan” untuk meraih tujuan dan kemudian diblow-up sedemikian rupa oleh lawannya sebagai alat kampanye agar terlihat teraniaya, memang dapat kita rasakan. Tetapi yakinlah masyarakat Jakarta tidak akan terpengaruh oleh play victim semacam itu. Masyarakat Jakarta menolak kekerasan, menolak pencitraan melalui situasi yang diciptakannya sendiri- baik sengaja maupun tidak sengaja. Ketika seseorang berulang-ulang mengekplorasi titik lemahnya, lalu pihak lain memanfaatkan, kesalahan tidak serta-merta diacungkan kepada pihak yang memanfaatkannya. Gugatan justru harus dialamatkan kepada pihak yang dengan bangga mengeksplorasi kelemahannya, lalu berteriak-teriak (seolah) menjadi korban demi meraih simpati. Masyarakat Jakarta paham akan hal semacam itu dan menolaknya.
Masyarakat Jakarta susah lelah oleh berbagai persolan sosial, kemacetan dan kekerasan dalam artian luas, yang ditemuinya sehari-hari. Mayoritas masyarakat Jakarta sudah terlalu penat berebut kesempatan untuk sekedar mendapatkan tempat “bernafas” yang teduh. Mereka ingin pemimpinnya bisa memberikan solusi atas berbagai masalah sosial tersebut, dan juga membawa kedamaian hati. Kami ingin pilkada damai.
Jangan bebani kami dengan jargon-jargon bombastis- seolah bangsa ini akan runtuh jika kami tidak memilih A atau B. Jangan bebani kami dengan dengan anggapan kebhinekaan yang sudah terentang sejak bangsa ini berdiri, robek hanya karena kami milih A atau B. Jangan labeli kami dengan ungkapan-ungkapan menyakitkan, seolah kami pelacur, koruptor, maling, rasis, radikal, ketika tidak memilih A atau B.
Kami yang merasakan, kami yang menentukan. Hargai apapun pilihan warga Jakarta. Bukankah Ahok dan Anies sama-sama putra terbaik bangsa? Bukankah Djarot dan Sandiaga saudara kita juga? Tetapi jika tuan-tuan dan nyonya-nyoya punya pandangan lain- lazimnya ucapan jaksa dan pengacara di depan hakim, silahkan juga untuk memberikan penilaian berbeda.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H