Masih ada beberapa hasil pemilihan kepala daerah serentak 2017 yang belum final karena adanya gugatan ke Mahkamah Konstitusi maupun harus dilanjutkan pada putaran kedua seperti DKI Jakarta. Tetapi satu hal yang sudah pasti, PDIP mengalami kekalahan hampir setengah dari total 101 pilkada. Jika jagoan PDIP di keok di putaran kedua Pilkada DKI, mestinya menjadi jalan bagi Megawati Soekarnoputri untuk undur diri dari hiruk-pikuk politik.
Sebagai partai pemenang Pemilu dan Pilpres 2014, hasil yang dicapai PDIP pada kontestasi bertajuk pIlkada seretntak 2017 cukup memalukan. Para kader PDIP sibuk menutupi kegagalan partainya dengan klaim-klaim menggelikan. Contohnya, klaim Wasekjen PDIP Ahmad Basarah, jika kemenangan sebesar 52 persen melampaui target, bahkan melampaui keberhasilan yang diraih pada pilkada serentak 2015. Klaim ini sangat naïf mengingat sebelumnya PDIP menargetkan kemenangan sebesar 60 persen untuk pilkada 2017. Lebih menggelikan lagi ketika hasil pilkada 2017 disandingkan dengan perolehan pilkada 2015. Pada pilkada serentak 2015, PDIP berhasil meraih kemenangan di 160 dari 264 daerah atau di atas 60 persen alias di atas target 156 daerah.
Lalu berapa kader PDIP yang berhasil menjadi kepada daerah, termasuk wakilnya? Pada tahun 2015 PDIP meloloskan 197 kader dengan rincian 105 kepala daerah dan 92 wakil kepala daerah. Untuk PIlkada 2017, PDIP hanya bisa mendudukkan 50 kader dengan rincian 24 untuk jabatan kepala daerah dan 26 wakil kepala daerah. Jika diprosentasekan, maka PDIP meraih 35 persen lebih posisi kepala daerah pada pilkada 2015 dan hanya 24 persen untuk pilkada 2017.
Dari fakta dan data yang tersaji berdasarkan klaim PDIP sendiri, mengingat hasil perolehan Pilkda 2017 belum final karena masih ada putaran kedua dan juga gugatan hukum, kader-kader PDIP terlihat kedodoran menutupi kegagalan. Mereka tidak ingin muncul opini jika PDIP keok, gagal merealisasikan target. Sayangnya,mereka tidak mampu menyajikan data yang lebih komprehensif dan meyakinkan karena memang faktanya tidak seperti yang mereka sampaikan.
Kegagalan PDIP pada PIlkada 2017 tentu disebabkan oleh banyak faktor. Lucunya, PDIP malah menuding KPU tidak fair (maladministrasi), selain mengakui adanya kelemahan dari sisi internal seperti kesiapan kandidat untuk fight,keterbatasan logistik dan kurang rekatnya kandidat dengan struktur dan kader partai. Khusus untuk Jakarta, tudingan adanya maladministrasi alias pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pilkada bahkan sudah disuarakan di hari pertama pencoblosan oleh calon wakil gubernur Djarot Saiful Hiddayat. Isu tersebut kemudian di-blow up sedemikian rupa seolah-olah menjadi penyebab utama. PDIP, dan juga timses Ahok-Djarot, bahkan sampai membuka posko pengaduan.
Jika saja protes kecurangan itu dilakukan oleh pasangan Agus-Sylvi mungkin masih bisa diterima karena perolehan suara mereka jauh di bawah prediksi. Tetapi jika dilakukan oleh petahana, dan partai penguasa, rasanya sangat aneh. Meski KPU bersifat independen, penguasa tetap memiliki kepentingan agar terlaksana pilkada yang jujur, bersih dan akuntabel. Pemerintah terlibat langsung dan ikut bertanggungjawab dalam upaya-upaya tersebut. Menuding KPU curang sama saja menampar muka pemerintah.
Belum lagi tidak da jaminan mereka yang tidak bisa ikut ,memilih karena hanya membawa E-KTP atau surat keterangan dari Dinas Catatan Sipil, serta kehabisan kertas suara hanya calon pemilih paslon Ahok-Djarot.Bukan hal yang mustahil, andai PKS atau timses Anies-Sandiaga membuka posko yang sama, jumlah pengadunya justru lebih banyak.
Generasi Kedua
Terlepas hasil akhir putaran kedua Pilkada DKI, dan juga hasil gugatan Rano-Embay terhadap hasil Pilkada Provinsi Banten di MK, hasil gelaran pilkada serentak 2017 menjadi warning serius bagi partai Moncong Putih itu. Perpecahan di tubuh PDIP pasca penetapan Ahok-Djarot sebagai calon Gubernur dan calon Waki Gubernur DKI Jakarta- yang ditandai dengan hengkangnya Boy Sadikin dari dalam kandang Banteng, mengisyaratkan mulai terkikisnya pamor Megawati. Meski perpecahan juga terjadi di semua partai pengusung  Ahok-Djarot, minus Nasdem, namun perpecahan di tubuh PDIP yang paling mendapat sorotan karena jauh sebelumnya suara-suara kader yang menolak Ahok sudah nyaring.
Megawati enggan mendengar aspirasi kadernya. Bahkan Megawati memberi jalur khusus untuk Ahok yang tidak mengikuti proses penjaringan bagi calon kepala daerah. Hal ini tentu mematik ketidaksukaan sejumlah kader. JIka dibiarkan, tidak segera dilakukan upaya-upaya strategis untuk mengembalikan kader yang loncat pagar, atau diam-diam mbalelo, sulit bagi PDIP untuk mempertahankan kemenangan yang diraih pada Pemilu 2014 lalu.
Megawati harus berani melakukan regenerasi kepengurusan PDIP, termasuk untuk posisi yang kini diemban. Megawati bisa menggunakan momentum Pilkada DKI sebagai jalan untuk undur diri. Sudah saatnya Megawati mempercayakan biduk PDIP kepada generasi kedua, baik Puan Maharani, Prananda Prabowo atau bahkan Puti Guntur Soekarno. Jika pun belum berani melepas secara total, minimal bisa memberikan  kewenangan yang lebih luas kepada generasi kedua sebagai persiapan sebelum dirinya benar-benar lengser dari kancah politik.