Sri Bintang Pamungkas kembali menyandang status sebagai tahanan politik. Doktor of Philosophy dari Iowa State University USA tersebut dituduh terlibat dalam pemufakatan makar terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pengadilan yang kelak akan membuktikan apakah tuduhan tersebut benar atau hanya sekedar untuk membungkam suara aktivis. Terlepas dari tuduhan itu, Sri Bintang Pamungkas tetap akan dikenang sebagai tokoh pergerakan lintas rezim yang layak dihormati.
Nama Sri Bintang Pamungkas mulai dikenal publik ketika rezim orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto mencengkeram setiap sudut negeri. Sejak tahun 1980-an Sri Bintang sudah menyuarakan perlawanan secara terbuka terhadap kebijakan-kebijakan Soeharto yang represif dan secara ekonomi hanya menguntungkan kelompok yang dekat dengan Cendana. Teror dan intimidasi menjadi santapan setiap hari. Namun Sri Bintang terus bergerak dengan keyakinannya meski harus kehilangan kesempatan hidup mewah dan nyaman. Sebab andai saja waktu itu Sri Bintang- yang dikenal cerdas, pemberani dan sudah memiliki sederet gelar akademik, mau menghamba pada rezim Soeharto, tentu tidak sulit untuk mendapat posisi empuk di lingkar kekuasaan.
Setelah sempat bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan ({PPP) dan duduk di Senayan, namun kemudian di-reccal karena terlalu lantang menentang kebijakan Soeharto, Sri Bintang meneruskan perjuangannya melalui (meminjam istilah Pak Harto) organisasi tanpa bentuk. Sri Bintang menggunakan jalanan sebagai panggung untuk menyuarakan pemikiran dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Sri Bintang sempat membuat Pak Harto sangat marah sampai mengeluarkan ancaman akan “digebuk”- kata paling keras yang pernah dilontarkan Pak Harto yang dikenal sebagai Jenderal Senyum, saat menggelar konferensi pers di atas pesawat kepresidenan sepulang dari Dresden Jerman. 1995. Pak Harto menuding Sri Bintang berada di balik aksi demo di Dresden yang mempermalu dirinya.
Tetapi kaki-tangan Soeharto belum bisa menangkapnya padahal saat itu, tepatnya Mei 1996 Sri Bintang mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang bertentangan dengan UU NO 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Bahkan kemudian Sri Bintang mewacanakan diri sebagai calon Presiden menjelang Pemilu 1997- yang oleh kader PPP, Mudrick SM Sangidu disandingkan dengan Megawati Seokarnoputri dengan sebutan Mega-Bintang, orang-orang Soeharto masih kebingungan untuk menangkapnya.
Alasan untuk membungkam akhirnya didapat setelah Sri Bintang menolak hasil Pemilu 1997 dan pengangkatan kembali Soeharto sebagai Presiden untuk keenam kali atau ketujuh kali jika digabungkan dengan masa kekuasaan awal tahun 1968-1971. Sikapnya tersebut diungkapkan melalui selebaran dan dikirim ke para pejabat, termasuk anggota DPR/MPR di balik kartu ucapan Hari Raya Idul Fitri.
Sri Bintang ditangkap dan ditahan Kejaksaan Agung dengan tuduhan subversif alias makar, pada Maret 1997. Namun sebelum kasusnya diputus oleh pengadilan, Soeharto sudah dijatuhkan oleh kekuatan rakyat. Sri Bintang yang tengah berada dalam tahanan tidak ikut terlibat langsung dalam pelengseran Soeharto. Lima hari setelah BJ Habibie didapuk menjadi presiden, Sri Bintang dibebaskan dari penjara yang sempat dihuninya selama lebih dari setahun. Sri Bintang kemudian divonis bebas dan dipulihkan nama baiknya oleh majelis hakim PN Jakarta Selatan pada 30 November 2000.
Namun Sri Bintang tidak ikut menikmati perjuangannya. Pamor Sri Bintang kalah terang dibanding Amien Rais, Abdurrahman Wahid maupun Megawati Seokarnoputri yang kemudian menjadi pahlawan reformasi bersama Sri Sultan Hamengkubuwono X. Bahkan mirisnya lagi, pada Pemilu 1999, PUDI hanya memperoleh 140.980 suara sehingga tidak bisa menempatkan kadernya di DPR. Nama Sri Bintang semakin redup setelah era keterbukaan di mana semua orang bebas menyampaikan aspirasinya tanpa dihantui bayang-bayang jeruji besi.
Meski demikian, Sri Bintang terus bergerak, menyuarakan pemikirannya tentang berbagai ketimpangan sosial yang terjadi baik di era Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Jokowi. Namun suaranya hanya sayup-sayup karena media mainstream tidak lagi berpihak padanya. Sri Bintang teraleniasi di tengah hiruk-pikuk kebebasan yang diperjuangkan. Sri Bintang hanya bisa berkoar-koar di pinggir jalan, di gang-gang sempit, bersama warga yang terlindas dan terlupakan di tengah deru pembangunan yang tidak ramah pada warga miskin.
Padahal warga miskin juga bagian dari republik ini. Kemiskinan terjadi bukan hanya karena kemalasan, tetapi juga abainya pemerintah. Keadilan sosial yang menjadi Sila Kelima Pancasila, tidak pernah diterjemahkan sebagai keberpihakan pada kaum miskin dan mereka yang terpinggirkan oleh sistem. Orang miskin dianggap sampah, sarang krimnal, penghambat pembangunan, penyela kebahagiaan orang-orang kaya dan seabreg label lainnya.
Padahal sudah berapa banyak kemiskinan terjadi akibat salah kebijakan pemerintah? Berapa ribu kemiskinan yang tercipta akibat kongkalikong antara pejabat pemangku kebijakan dengan pengusaha, pemilik modal? Terlalu banyak untuk dicontohkan. Terlalu banyak untuk disebutkan. Mereka yang miskin karena harga jual hasil panennya tidak sebanding dengan ongkos produksi, adalah korban salah kebijakan pemerintah. Mereka yang miskin karena sulitnya mendapatkan modal usaha sehingga terjebak pada renternir, adalah korban kelalaian pemerintah.