Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nur Alam Jadi Tersangka KPK, Apa Kabar Kejagung?

24 Agustus 2016   02:20 Diperbarui: 24 Agustus 2016   10:32 1701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam sebenarnya sudah sangat gamblang. Kejaksaan Agung bahkan sudah menemukan rekening gendut Sang Gubernur yang mencapai US$ 4,5 juta. Namun tanpa alasan yang jelas Kejagung menghentikan penyelidikannya. Dan sekarang Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Nur Alam sebagai tersangka untuk kasus yang sama. Ada apa dengan Kejagung?

Kasus yang menjerat Nur Alam sebenarnya sudah lama diketahui secara umum. Terlebih sejak tahun 2013-2014 masyarakat Sultra berulangkali menuntut aparat penegak hukum memeriksa  Nur Alam yang telah menjabat sebagai Gubernur Sultra sejak 2008 karena terindikasi melakukan korupsi, terutama terkait dana pungutan kepada pengusaha tambang. Namun aspirasi elemen masyarakat Sultra tidak terlalu direspon aparat penegak hukum karena dinilai bernuansa politis. Sebab saat itu hendak dilangsung pemilihan gubernur dan politisi PAN itu maju sebagai petahana.

Kejagung baru bergerak tahun 2014 setelah mendapat laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), mengenai adanya aliran dana yang tidak wajar ke rekening Nur Alam, Kejagung kemudian membentuk tim untuk melakukan penyelidikan. Hasilnya, diketahui ada simpanan dana sebesar US$ 4,5 juta yang diduga kuat berasal dari Mr Chen, pengusaha asal Taiwan yang memiliki konsesi tambang nikel di Sultra.

Dana tersebut ditransfer oleh Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Pada 2010, sejak September hingga November, Richcorp empat kali mentransfer uang ke PT AXA Mandiri dengan nilai total US$ 4,5 juta lewat Chinatrust Bank Commercial Hong Kong. Oleh AXA, uang itu ditempatkan dalam tiga polis asuransi atas nama Gubernur Nur Alam senilai Rp 30 miliar. Sisa dana, sekitar Rp 10 miliar, ditransfer AXA ke rekening Nur Alam di Bank Mandiri. Selengkapnya bisa dibaca di sini.

Meski konstruksi dugaan korupsi yang dilakukan Nur Alam sudah terang benderang, namun Kejagung justru “masuk angin”. Tahun 2015, Kejagung secara resmi mengumumkan penghentian kasus dugaan korupsi Nur Alam. Lucunya, Kejagung tidak menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Lebih aneh lagi ketika Kejagung menggantung nasib Nur Alam karena menurut Kapuspenkum Kejagung (saat itu) Amir Yanto kasus tersebut “masih memungkinkan dibuka kembali apabila ada alat bukti lain” seperti dibaca di sini.

Dengan posisi seperti itu, banyak yang menduga, khususnya masyarakat Sultra, Nur Alam yang terpilih kembali menjadi Gubernur Sultra untuk periode 2013-2018, dijadikan “ATM” oleh oknum-oknum di Kejagung.     

Kini kisah Nur Alam berakhir juga. KPK telah menetapkannya sebagai tersangka penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri. Menurut KPK, selama ini Nur Alam menerima imbalan dari penerbitan surat ijin usaha penambangan (IUP) yang diberikan kepada perusahaan tambang, termasuk PT Anugrah Harisma Barakah yang beroperasi di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana.

Dari hasil “korupsinya” Nur Alam sukses membangun istana megah di Wua-wua Kota Kendari yang ditaksir bernilai ratusan miliar. Bukan hanya itu, Nur Alam dan keluarganya juga dikenal suka hidup bermewah-ria padahal tingkatan kemiskinan di Sultra tergolong tinggi. Berdasarkan survei yang dilakukukan BPS tahun 2015, jumlah orang miskin di Sultra mencapai 321,88 ribu orang atau 12,90 persen dari total penduduknya.

Terlepas dari itu semua, penetapan Nur Alam sebagai tersangka oleh KPK mestinya menjadi tamparan maha dasyat bagi Kejagung. Terlebih Wakil Ketua KPK Laode M Syarief terang-terangan menyebut kasus yang menjerat Nur Alam ada benang merahnya dengan kasus yang pernah ditangani dan kemudian dihentikan oleh Kejagung dengan alasan tidak cukup bukti.

Jangan menggunakan dalih bahwa ketika Kejagung menghentikan penyelidikan tetap dengan opsi untuk membuka kembali kasusnya manakala ada bukti baru karena kalimat itu tidak maksudkan demikian. Orang-orang yang pernah berurusan dengan penegak hukum pasti tahu arah kalimat-kalimat semacam itu. Bahkan bagi yang pernah mengalaminya mengaku lebih baik langsung saja ditetapkan sebagai tersangka dan dijebloskan ke penjara dari pada kasusnya digantung sampai hartanya habis baru kemudian dirinya “dihabisi".

Kasus Nur Alam harus menjadi momentum Kejagung untuk berbenah, dan bersih-bersih. Sudah bukan zamannya lagi “memainkan” kasus karena serapat apa pun pasti akhirnya akan terbuka. Meski yang bermain mungkin hanya oknum-oknum tertentu, namun dampaknya akan mencoreng wajah institusi, citra kelembagaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun