Sejumlah ulama di Jakarta dan sekitarnya mendirikan Majelis Pelayan Jakarta (MPJ). Salah satu misi yang diemban adalah mengedukasi masyarakat Muslim Jakarta agar cerdas dalam menentukan pilihan saat pilkada DKI 2017 mendatang. MPJ melihat selama ini ada upaya penggiringan opini untuk menjatuhkan citra pemimpin Muslim. Seolah semua pemimpin Muslim- pemimpin yang santun, identik dengan korupsi.
Dalam berbagai kesempatan, baik Ketua Dewan Syura Prof. Didin Hafidhuddin maupun Sekretaris Badan Pekerja MPJ Iwel Sastra menegaskan pihaknya ingin mengeduksi masyarakat dengan memaparkan fakta masih banyak pemimpin Muslim yang santun dan tidak korupsi. Mereka bekerja sungguh-sungguh dan bebas dari sifat tercela, yang dibuktikan dengan kemajuan daerah yang dipimpinnya. Menyamaratakan semua pemimpin Muslim pasti korup, sangat buruk dan sulit diterima akal sehat. Dari jutaan pemimpin Muslim sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, berapa yang masuk penjara karena korupsi? Berapa prosentasenya? Berapa harta negara yang telah dimakannya? Setelah mendapat angkanya, silahkan bandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh warga non Muslim sehingga akan terlihat secara nyata mana fakta, mana fitnah.
Sepintas misi yang dibawa MPJ masuk akal dan dapat dijadikan model edukasi politik kepada masyarakat. Sampai di situ keberadaan MPJ patut diapresiasi. Tujuh nama yang diusung tentu untuk bukti masih ada pemimpin Muslim yang dianggapnya memiliki kredibilitas- santun, mampu bekerja dan tidak korup meski sudah menduduki banyak jabatan seperti Yusril Ihza Mahendra, Adhyaksa Dault dan Nurdin Abdullah. Selain ketiga orang itu, ada juga nama Sandiaga Salahuddin Uno, Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin dan Suyoto. MPJ juga memasukkan nama Ustadz Yusuf Mansur yang dikabarkan didukung sejumlah ulama. Tujuh nama itu selama ini juga santer diberitakan akan ikut bertanding dalam kontestasi pilkada DKI 2017.
Namun ketika MPJ melakukan gerilya kepada partai politik untuk “menjual” tujuh nama yang layak untuk memimpin Jakarta, maka misi di atas menjadi gugur. MPJ terjebak pada politik praksis sehingga mencederai semangat edukasi yang diembannya. Meski beralasan pihaknya tidak akan memberikan dukungan kepada satu dari tujuh tokoh tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme dan aspirasi partai politik untuk memilih, tetap sulit untuk menghilangakn subjektifitas ketika berhadapan dengan partai politik.
Mestinya edukasi dilakukan tanpa disertai upaya ‘menjualnya’ kepada partai politik. Jika pada akhirnya elektabilitas ketujuh orang itu meningkat sehingga memiliki daya tawar dengan partai politik, serahkan kepada individu-individu itu untuk melakukan lobi politik. Tugas MPJ sebatas mengedukasi dan memberikan contoh kepada masyarakat sebagai counter terhadap upaya kelompok tertentu yang selama ini mendiskreditkan pemimpin Islam.
MPJ harus paham mereka tidak memiliki “legal standing“dalam kontestasi pilkada Jakarta. MPJ harus tetap memposisikan diri sebagai stake holder untuk menampilkan calon pemimpin alternatif sesuai misinya. Jangan sampai kesan yang muncul justru upaya politisasi tokoh Islam untuk kepentingan satu-dua orang, apalagi tunggangan partai tertentu.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H