Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Misteri Benteng Van Der Wijck (Bag. 3)

14 Desember 2015   20:48 Diperbarui: 30 November 2016   17:30 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Titis terjaga ketika wajahnya merasakan terpaan hawa dingin. Ugh…! serunya sambil mengusap-usap wajah. Sesaat ia berusaha mengenali lingkungan sekitarnya lalu sibuk mencari blackberry dan tab-nya. Tidak ada! Ia segera berdiri dan memeriksa sekitar tempatnya tadi duduk bersandar pada…tidak! pekik Titis. Ia terlonjak dan tidak memercayai pengelihatannya.

Bagaimana tadi aku bisa tertidur di bawah pohon besar ini? tanyanya sambil kembali mencari peralatan komunikasinya di sekitar pohon itu. Ia ingin segera menghubungi mama untuk menjemputnya. Tapi peralatan elektronik  yang tidak pernah lepas dari dirinya itu, tetap tidak ditemukan. Apakah ada yang mencuri selama aku tadi tertidur?

Tidak mungkin! bantah hatinya.  Tempat ini sangat sepi. Seperti di tepi hutan. Di belakang pohon besar itu banyak terdapat pohon-pohon yang lumayan besar juga. Di mana aku? Mengapa aku ada di sini? Titis terus bertanya-tanya dalam hati. Ia garuk-garuk kepala dan mulai mencoba mengingat beberapa kejadian terakhir.  Titis melompat dan berjingkrak-jingkrak sambil berteriak-teriak setelah dia bisa mengingat peristiwa terakhirnya. Aku tadi ke benteng Van Der Wijck. Mengapa sekarang ada di sini? pikir Titis sambil terus berjingkrak-jingkrak seperti orang lari di tempat. 

 “Mama..!!!” teriaknya berulang-ulang.

Teriakan Titis seperti hilang begitu saja. Tidak ada gema sama sekali. Setiap kali berteriak, suaranya langsung hilang dan kesunyian semakin menyergap.  Suasana sekitarnya remang-remang, namun Titis tidak bisa memastikan apakah saat ini sore atau pagi hari. tidak ada matahari atau benda lain yang bisa dijadikan petunjuk waktu. Setelah cape berteriak-teriak tanpa ada sahutan, Titis memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Mengikuti  jalan setapak yang ada di sebelah pohon tempat ia tadi duduk. Ke mana jalan ini menuju? pikirnya.

Titis terus berjalan menjauhi pohon besar. Setelah agak jauh Titi mengeok ke belakang. Bulu kuduknya meremang. Rupanya pohon besar itu bagian dari hutan yang sangat lebat. Dan saat ini sore hari, jerit hatinya. Kesimpulan itu didapat setelah suasana di sekitarnya semakin gelap. Gesekan daun ilalang dan duri tanaman liar yang berada di kanan-kiri jalan setapak membuat lengan Titis terasa perih. Namun ia tidak terlalu peduli. Ketakutan yang mulai menyergap seluruh tubuhnya, lebih menyita pikiran dari pada rasa perih di lengannya. Di mana aku sekarang? Apakah mama dan papa tahu jika aku berada di sini? Mungkin papa tahu karena dia asli orang sini. Tempat ini pasti tempatnya bermain saat kecil dulu. Sebentar lagi mereka pasti akan menjemputku. Kesimpulan itu sedikit menghibur hatinya.

Hati Titis semakin tenang ketika melihat rumah di depannya . Bukan rumah, tapi gubuk, batinnya protes. Seluruh dindingnya terbuat dari alang-alang kering. Atapnya entah terbuat dari daun apa. Titis tidak pernah melihat atap seperti itu. Nyala lampu yang keluar dari sela-sela dinding gubuk mengisyaratkan jika gubuk itu berpenghuni.

“Permisi…!” seru Titis setelah berdiri di depan pintu yang terbuat dari anyaman bambu . Kelihatannya gubuk ini sudah lama sekali. Terlihat sangat reyot dan rapuh. Jika terkena angin kencang pasti terbang, kata Titis dalam hati.

“Permisi!” Kalai ini Titis berteriak lumayan kencang setelah tidak ada tanda-tanda ada orang di dalm gubuk itu. Titis terus mengulang teriakannya sampai beberapa kali. Kepanikannya reda setelah terdengar daun pintu berderit. Nenek tua muncul dari dalam dengan membawa tongkat bambu.

“Sapa ya?” tanyanya. Suaranya khas suara papa, Banyumasan. 

“Saya Titis,” jawab Titis dengan antusias. Meski begitu dia tidak berani mendekat. Wajah nenek di depannya begitu seram. Seperti nenek lampir, batinnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun