Usai menyusuri Kali Ciliwung, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan bangga mengatakan tidak ada yang melempari dirinya. Bahkan saat lewat Bukit Duri, orang-orang yang tinggal di bantaran dan hendak direlokasi tampak menyambut dengan ramah sambil melambaikan tangan.
"Dulu orang provokasi kalau saya turun ke (bantaran) sungai akan bahaya, ditimpuk lah macam-macam. Sampai Bukit Duri, orang-orang (bantaran Kali Ciliwung) angkat tangan senyum-senyum. Terus saya bilang gini, pindah ya, mereka jawab ya Pak, oke juga," tutur Ahok.
Ketika membaca berita di kompas.com itu penulis tersenyum geli. Terlebih Ahok mengatakan, apa yang dilakukannya itu sebagai jawaban atas provokasi yang menyebut dia tidak akan diterima oleh warga bantaran kali.
Mengapa Ahok ‘selamat’ dalam arti tidak kena timpuk saat menyusuri Kali Ciliwung? Pertama, sebelumnya warga tidak tahu Ahok akan menyusuri Ciliwung. Kedua, lemparan benda ke arah sungai mudah diketahui dan sangat kecil kemungkinannya mengenai sasaran. Di samping jauh, juga dalam perahu yang tengah melaju. Ketiga, Ahok satu perahu dengan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Kementerian Pekerjaan Umum Teuku Iskandar dan Kepala Staf Kodam Jaya Brigadir Jenderal Ibnu Widodo. Di kanan kirinya duduk sejumlah tentara. Rasanya hanya orang gila yang berani melempar rombongan itu.
Terakhir, dan ini jawaban yang paling utama dan benar, masyarakat Jakarta tidak mungkin akan melempari Ahok! Beberapa kali Ahok berkunjung ke pemukiman warga seperti ketika kondangan, juga tidak pernah ada yang menimpuknya. Yang ada justru warga berebut mengajak selfie.
Tetapi mengapa Ahok selalu mem-blow up soal ancaman itu? Mengapa Ahok memposisikan diri begitu paranoid terhadap warga Jakarta?
Inilah yang disebut pencitraan. Ahok berulangkali mengangkat keminoritasan dirinya, kehebatan dirinya karena berani mempertaruhkan jiwa raganya untuk berantem dengan semua orang, semua pihak yang diposisikan sebagai penjahat, koruptor, maling penyerobot tanah negara dll, sebagai bagian dari pencitraan. Dalam kazanah politik di Indonesia, orang kecil, tertindas, namun berani, pasti akan mendapat simpati. Ahok tahu itu dan dengan tepat menerapkannya sehingga tidak heran jika sekarang muncul sebagai sosok yang sangat terkenal, bukan hanya di Jakarta, namun juga daerah-daerah lain.
Apakah salah melakukan pencitraan? Tidak. Sah-sah saja. Semua orang yang akan merebut atau mempertahankan suatu jabatan politik yang pemenangnya ditentukan oleh besaran suara pemilih, pasti akan melakukan pencitraan. Meski bisa berdalih di balik simbol tertentu, namun sulit bagi Yusril Ihza Mahendra untuk menghindar dari anggapan dirinya tengah melakukan pencitraan ketika membela warga Bidara Cina dan Luar Batang yang akan digusur Ahok.
Namun hal itu tidak bisa disematkan kepada Ratna Sarumpaet. Sebab Ratna melakukannya tidak dalam rangka meraih dukungan suara dalam kontestasi pilkada. Track record Ratna sebagai seniman panggung yang bersuara lantang dalam urusan membela warga yang kena gusuran, rakyat yang tertindas, sangat panjang. Terbentang sejak zaman Pak Harto hingga Jokowi. Ratna kenyang diteror dan dihadang aparat bersenjata rezim orde baru. Salah satu buktinya adalah ketika Ratna mementaskan monolog Marsinah Menggugat. Ratna tidak mengambil keuntungan politik dari tindakannya. Jika pun kelak, 10 tahun mendatang Ratna mencalonkan diri untuk suatu jabatan politik, apa yang dilakukannya sekarang dan juga tahun-tahun sebelumnya, adalah investasi politik, bukan pencitraan.
Kecerdasan pemilihlah yang akan menghukum para politisi yang kerjanya hanya pencitraan. Pemilih yang akan menilai apakah yang dilakukan oleh calon yang ikut dalam kontestasi politik, tengah melakukan pencitraan atau memang bekerja sungguh-sungguh dilandasi semangat keberpihakan pada kaum kecil, kaum tertindas, kaum yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan, untuk bersuara.
Pemilih cerdas pasti bisa membebaskan diri dari kemilau pencitraan. Pemilih cerdas akan menilai dari banyak aspek sebelum menjatuhkan pilihannya. Track record, kinerja, pandangan politik, dan apa yang akan dilakukan oleh sang calon jika terpilih, menjadi pertimbangan utamanya. Pemilih cerdas tidak akan ikut-ikutan dalam menentukan pilihan. Pemilih cerdas tidak akan goyah pilihannya meski diteror, dibully, diiming-imingi duit.