Sudah lama masyarakat tidak lagi percaya dengan hasil survei. Munculnya stigma negatif terhahap lembaga-lembaga survei tidak terlepas dari fakta hasil survei yang dilakukan, jauh berbeda dengan realita. Kasus pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 dan pemilihan presiden 2014 menjadi titik nadir hilangkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga survei.
Sebagai lembaga ilmiah, lembaga survei tetap dibutuhkan. Minimal sebagai pelengkap teori dan bagian dari geliat demokrasi. Penulis termasuk yang masih mempercayai hasil survei dengan tingkat kepercayaan di atas 50 persen, termasuk hasil survei yang dilakukan Populi Center 15-21 April 2016. Dalam survei itu, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama sebagai calon gubernur yang akan bertarung dalam pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang memiliki elektabilitas 50,8 persen atau naik sekitar 1,3 persen dari survei yang mereka lakukan pada bulan Februari.
Namun penulis benar-benar heran bin bingung dengan pernyataan yang disampaikan Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti. Dalam rilis untuk menanggapi hasil survei Populi Center tersebut, Ikrar menyebut bahwa saat ini warga Ibu Kota sudah cerdas untuk dapat memilih pemimpinnya. Meski diterpa kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras dan dugaan suap reklamasi Pantai Utara Jakarta, namun Ahok- demikian Basuki Tjahaya Purnama akrab disapa, tetap memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas tinggi, bahkan meningkat. Demikian juga terkait penilaian masyarakat atas kinerjanya yang rata-rata mencapai di atas 70 persen.
"Orang sekarang enggak bodoh lagi, mereka makin cerdas menilai mana yang benar, mana yang salah. Semakin dikuyo-kuyo(dizalimi), rakyat akan makin menyatu mendukung Ahok," kata Ikrar. Selengkap bisa dibaca di sini
Dengan tingkat elektabilitas dan kepuasan masyarakat atas kinerja calon petahana, menurut Ikrar tidak akan ada yang bisa mengalahkannya. Ikrar pun mempertanyakan apa yang sudah dilakukan oleh calon lawan Ahok. Padahal siapa calon lawan Ahok, sampai hari ini saja belum terlihat. Setidaknya belum ada yang mendapat dukungan dari partai politik atau memiliki copy KTP dukungan dari masyarakat dalam jumlah yang signifikan jika ingin maju melalui jalur independen.
Sebagai peneliti yang ‘berpihak’ sejauh itu tidak ada yang salah dengan ucapan Ikrar. Sah-sah saja apa yang dikatakannya. Namun menjadi blunder, bahkan menunjukkan ‘kebodohannya’ ketika membaca pernyataan berikutnya yang penulis kutip dari berita kompas.com: "Mau (lawannya melakukan) pencitraan gaya apa pun tidak mungkin bisa mengalahkan Ahok, kecuali ada bom duit jatuh di Jakarta."
Ikrar mengatakan Ahok hanya mungkin kalah jika ada bom duit jatuh di Jakarta! Pernyataan ini bertolak belakang dengan pernyataan sebelumnya bahwa “Orang sekarang enggak bodoh lagi...”
Luar biasa kontradiktifnya antara satu pernyataan dengan pernyataan lain, padahal masih dalam satu momen.
Penulis berasumsi, “Orang sekarang...” yang dimaksud Ikrar adalah orang Jakarta karena berita tersebut membahas tentang pilkada Jakarta. Ataukah “Orang sekarang...” yang dimaksud Ikrar warga luar Jakarta? Artinya warga luar Jakarta nggak bodoh lagi, sementara warga Jakarta bodoh-bodoh sehingga dalam menentukan/memilih calon pemimpin daerahnya didasarkan pada uang (yang diterimanya)?
Mendukung, memihak pada calon kepala daerah, calon kepala pemerintah, bukan sesuatu yang diharamkam, sekali pun dilakukan oleh tokoh publik yang bekerja di wilayah yang seharusnya netral. Penulis tegaskan, dari dulu masyarakat pun sudah pintar, bukan hanya sekarang. Justru orang-orang yang mengaku pintar itu yang sebenarnya ‘bodoh’ sehingga menutupinya dengan cara membodohkan masyarakat.
Mungkin ada yang menggugat, jika masyarakat pintar-pintar, mengapa bangsa ini masih terbelakang? Mengapa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia masih di bawah rata-rata tingkat kesejahteraan warga dunia?