Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mana yang Kebablasan, Kebebasan atau Demokrasi?

24 Februari 2017   09:46 Diperbarui: 25 Februari 2017   18:00 2114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kebebasan mengekspresikannya pendapat di muka umum hanya ada di dalam negara yang menganut paham demokrasi. Kebebasan itu didapat karena prinsip semua warga bangsa memiliki kesetaraan hak-hak dasar sebagai manusia merdeka dan kesamaan di muka hukum. Tetapi menyamakan kebebasan dengan demokrasi kurang tepat. Benar bahwa kebebasan (berpendapat) saat ini sudah kebablasan, tapi tidak ada demokrasi (yang) kebablasan!

Demokrasi adalah sebuah sistem untuk mengejawantahkan hak-hak politik warga bangsa secara konstitusional. Di dalam sistem demokrasi, rakyat bisa menentukan pemimpin yang dikehendaki melalui pemilihan umum yang dilakukan secara berkala.  Durasi jabatan pemimpin pun bisa dibatasi sesuai kesepakatan bersama.

Demokrasi hanya satu dari sekian banyak sistem pemerintahan. Meski demokrasi masih merupakan sistem yang terbaik, bukan berarti sistem yang lain salah. Jika ukurannya kesejahteraan rakyat, beberapa negara yang menganut sistem monarki, bahkan sosialis, memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibanding beberapa negara lain yang menganut sistem demokrasi.

Demokrasi juga memiliki banyak varian. Selain yang dikenal secara umum, Indonesia bahkan pernah membuat varian sendiri dengan istilah demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila. Di banyak negara, demokrasi hanya berlaku untuk pemerintahannya, sementara kekuasaan atas negara berada di tangan raja. Thailand menjadi contoh bagaimana demokrasi dijalankan, tetapi kekuasaan monarki atas negara tetap absolut.

Demokrasi yang saat ini berjalan, sudah sesuai dengan pakemnya. Pembatasan masa jabatan presiden dan kepala daerah, eksistensi lembaga-lembaga penopang demokrtasi seperti yudikatif dan legislatif, pemilihan umum yang berjalan secara fair, bebas intimidasi dan pemaksaan atas pilihan, media massa bebas tekanan, adalah ciri-ciri demokrasi yang sehat. Jika salah satu di antara penopang itu tidak terpenuhi, semisal legislatif lebih kuat dibanding eksekutif atau sebaliknya, maka demokrasi belum dijalankan sepenuhnya alias ada kekurangan.

Munculnya kelompok atau individu yang gemar  mengekploitasi kekerasan verbal maupun fisik, bukan ekses demokrasi. Buktinya, di negara-negara tertutup, atau yang pemerintahannya menggunakan sistem selain demokrasi, ada juga kelompok semacam itu. Penggunaan isu SARA dalam ranah politik, juga bukan cermin demokrasi yang kebablasan, tetapi akibat longgarnya aturan yang ada. Sebab tidak ada ahli demokrasi yang mengatakan demokrasi Amerika Serikat sudah kebablasan ketika Donald Trump menggunakan isu agama dan warna kulit dalam kampanye pemilihan presiden kemarin.

Oleh karena demokrasi hanya sebuah sistem yang dibangun untuk memenuhi hak-hak setiap warga negara, maka sejatinya tidak ada demokrasi yang kebablasan. Yang sangat mungkin kebablasan justru kebebasan warga bangsa dalam mengekpresikan haknya, termasuk dengan melanggar hak orang lain.

Pertanyaannya, mengapa sebagian warga bangsa mengekspresikan haknya secara berlebihan sehingga terkadang melanggar hak orang lain? Mengapa akhir-akhir ini sebagian warga bangsa begitu doyan memaki, menyakiti, menyebarkan permusuhan antar ras, antar golongan?

Ada banyak penyebabnya. Salah satunya, akibat kegagalan pemerintah dalam mengelola hak-hak rakyat, kegagalan memenuhi harapan rakyat, kegaduhan di tingkat elit, terusiknya rasa keadilan, ketimpangan sosial yang semakin menganga, dll.

Kondisi ini diperparah dengan lemahnya penerapan aturan yang ada. Kelemahan di sini bisa karena bias dalam penegakan- tajam hanya ke golongan tertentu namun tumpul kepada golongan lainnya, atau memang aturan yang ada belum menjangkau hal-hal kekinian.    

Jika pemerintah ingin memangkas kebebasan, dan menghukum mereka yang menggunakan isu SARA dalam berpolitik, terapkan secara berkeadilan. Tangkap mereka yang kotbah politik di masjid, gereja, vihara dan tempat-tempat ibadah lainnya. Jangan menyerang ulama, tapi membiarkan pendeta andai keduanya melakukan hal yang sama. Jangan mengusut pengumpulan uang oleh ormas Islam, tapi tutup mata terhadap pengumpulan dana untuk tujuan politik kelompok lain. Jangan menyoal umat Islam pilih pemimpin Islam jika tidak mempersoalkan umat Kristen pilih pemimpin Kristen. Jangan menuding nitizen yang menyerang agama lain sebagai SARA jika akun-akun anonim dengan bebasnya menguliti orang-orang yang tidak sama dalam pilihan politiknya, hingga ke ranah yang paling privat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun