Setelah berhasil meredam perseteruan di tengah masyarakat yang tercipta selama dan sesudah pemilihan presiden beberapa waktu lalu, kini Presiden Joko Widodo dihadapkan pada suatu pilihan yang maha sulit. Persoalannya bukan sekadar “mengorbankan” Basuki Tjahaja Purnama dengan imbalan dukungan kelompok Muslim, namun lebih dari itu. Jokowi harus mewaspadai gerakan politik yang berusaha memecah soliditas TNI dengan menghembuskan pencopotan Panglima Jenderal TNI Gatot Nurmantyo. Jika salah hitung, Jokowi tidak akan pernah bisa menyelesaikan masa jabatannya!
Bukan hal yang lazim ketika Presiden sampai harus mengucapkan “janji” di depan rakyat jika dirinya tidak akan mencopot Panglima TNI. Sebagai Panglima Tertinggi, Presiden Jokowi memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan mencopot seorang Panglima TNI. Tidak pada tempatnya ketika pejabat yang lebih tinggi memberi garansi untuk pejabat di bawahnya. Lazimnya, pejabat di level bawah yang berjanji setia dalam satu komando kepada atasannya.
"Saya tadi mengajak panglima untuk menyampaikan dan menegaskan, tidak ada penggantian Panglima TNI. Tidak ada," ucap Jokowi seperti dikutip di sini.
Pernyataan Presiden Jokowi mungkin dimaksudkan untuk menanggapi "sumpah" Jenderal Gatot pada acara Indonesia Lawyers Club yang ditayangkan sehari sebelumnya, “Lebih baik saya menjadi tumbal melaksanakan tugas untuk menjaga kebhinekaan daripada saya menjadi presiden” dan dirinya bersumpah tetap taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah. Tetapi hal itu tidak bisa meredam isu yang sudah terlanjur berkembang liar.
Apa yang sebenarnya terjadi? Isu pergantian Panglima TNI berhembus kencang usai Jenderal Gatot “menelanjangi” Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa di Metro TV, 2 November lalu, atau dua hari sebelum demo besar-besaran umat Islam. Panglima TNI merasa dirinya akan digiring pada opini yang membenturkan TNI dengan umat Islam ketika Najwa bertanya, "Kalau tentara sudah turun tangan, berarti skalanya berbeda nih. Apakah skalanya memang berbeda yang unjuk rasa besok?”
Panglima TNI yang hadir sebagai bintang tamu bersama Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Ketua MPR Zulkifli Hasan, Menag Lukman Hakim Saifuddin, Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirajd, dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, sempat menatap tajam mata Najwa Shihab. Sambil tersenyum, Panglima TNI lantas menjawab, “Nana, begini. Dalam konteks ini mari kita berpikiran positif. Bahwa yang akan melaksanakan demo itu adalah saudara-saudara kita sebangsa se-Tanah Air. Mereka, kata Kiai Abdul Mu'ti tadi, tidak punya tempat di Mata Najwa. Sehingga mereka di jalan raya, ke Istana (Negara). Jadi kita berpikiran positif."
Meski jawaban Panglima TNI disampaikan sambil tersenyum, namun memiliki makna yang sangat kuat. Panglima dengan cerdik mengelak jebakan Najwa yang terlihat ingin “membenturkan” TNI dengan umat Muslim.
Namun jawaban Panglima TNI rupanya membuat “resah” kalangan yang ingin mendiskreditkan umat Islam. Mereka bermimpi agar aksi damai umat islam 4 November dikategorikan makar, pemaksaan kehendak, disusupi kelompok ekstrimis, radikal dan ISIS yang dalam bahasa Najwa Shihab “skalanya berbeda” atau dengan bahasa lain bukan unjuk rasa biasa, sehingga wajib ditumpas, minimal dihadapi dengan pengerahan peralatan tempur. Terlebih selama berlangsungnya demo, tentara di bawah komando langsung Jenderal TNI Gatot Nurmatyo, sama sekali tidak terlibat “gesekan” dengan peserta demo.
Padahal, meski statusnya BKO (bawah kendali operasi) Polri, dalam kondisi chaos, setelah sejumlah pengunjuk rasa berlaku anarkis dan anggota Polri menembakkan gas air mata secara membabi-buta, TNI bisa saja mengambil-alih dengan dalih membahayakan keamana negara karena berlangsung tepat di depan Istana Merdeka. Ternyata Panglima TNI yang berada di lokasi bersama Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, tidak melakukan hal itu. Pasukan TNI tetap berada di balik pasukan polisi tanpa aktivitas berarti.
Para pengunjuk rasa juga tidak berusaha memprovokasi pasukan TNI meski saat terjadi “gesekan” di Majapahit sekitar pukul 17.00 WIB di mana pendemo berhasil membuka kawat berduri yang menghadap ke pintu Jalan Veteran- tepatnya di depan pintu masuk Kantor Sekretariat Negara, hingga bisa bergabung dengan massa pendemo di Jalan Merdeka Utara, satu regu pasukan TNI digeser ke lokasi tersebut.
Sikap pasukan pasukan TNI yang soft dan pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pada acara Mata Najwa, lantas diartikan sebagai sikap permisif TNI terhadap aksi unjuk rasa tersebut. Bahkan ada yang menengarai sebagai “dukungan”. Rupanya kabar tersebut sampai ke telinga Presiden Jokowi sehingga persoalan menjadi besar. Presiden bahkan menginstruksikan Kapolri agar “mencari” pengunggah isu pergantian Panglima TNI.