Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Lucunya Jakartaku: Eksploitasi Anak Mencuat, 3 In 1 Digugat

29 Maret 2016   07:54 Diperbarui: 29 Maret 2016   18:58 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat wajah-wajah kuyu dan sayu puluhan anak-anak, termasuk bayi, membuat hati siapa pun tersentuh. Meski tahu ada larangan untuk memberikan sedekah, meski tahu sebagian dari mereka dikendalikan sindikat, jerit nurani  seringkali mengalahkan logika. Dengan perasaan bersalah dan hati menjerit, tanpa sadar kita menurunkan kaca jendela mobil, mengambil recehan di dashboard dan mengulurkannya kepada mereka.

Itulah realitas yang ada di depan kita. Menampar kecongkakkan kita kala berdebat sambil minum capucino. Memaksa kita untuik kembali bertanya apa gunanya negara ini didirikan. Apa manfaatnya jalan-jalan bagus, gedung-gedung megah bagi mereka. Apa gunanya pidato berlembar-lembar, angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi bagi mereka? Apa gunanya pembangunan jika pada akhirnya mereka hanya menjadi sekumpulan penonton tanpa ruang untuk ikut menikmatinya.

Kasus eksploitasi anak yang menjadi fokus pemberitaan beberapa hari terakhir, mestinya tidak dianggap hanya sebatas angka-angka, jumlah, tapi harus masuk pada inti persoalan tentang timpangnya pembangunan yang digelorakan selama ini. Mereka yang mengemis di jalanan mungkin jumlahnya tidak seberapa, mungkin juga korban sindikat kejahatan. Mungkin mereka yang mengemis di jalanan, lebih kaya dari penulis artikel ini. Mungkin dan sederet kemungkinan lainnya.

Namun kemungkinan-kemungkinan itu tidak serta-merta bisa menutup mata kita bahwa angka kemiskinan di negeri ini masih sangat tinggi. Jumlah mereka yang miskin karena keturunan, karena kemalasan, karena dimiskinkan oleh sistem  pembangunan yang congkak, masih ada di sekitar kita. Mereka yang miskin karena kalah dalam persaingan usaha yang tidak sehat, yang miskin karena tidak pernah diberi payung dan kail ekonomi oleh penguasa, mereka yang miskin karena salah kebijakan para pemimpinnya, masih terlalu banyak di sekitar kita.

Salah satu penyebab kemiskinan di negara kita adalah perilaku korup yang dilakukan oleh para pejabat negara, bekerjasama dengan politisi dan pengusaha. Namun mengatakan semua pejabat korup, semua pengusaha hitam, sama buruknya dengan mengatakan negara ini akan makmur dan berkeadilan jika tidak ada korupsi. Itu hanya salah satu faktor. Ada banyak faktor lain yang tak kalah mempengaruhi timbulnya kemiskinan yakni kebijakan penguasa.

Sebagai gambaran, indeks korupsi di Negara China sangat tinggi, tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Itu sebabnya hampir setiap tahun ada pejabat yang dihukum mati. Tetapi mengapa pertumbuhan ekonomi China tetap tinggi, dan terjadi pemerataan kemakmuran? Jawabnya adalah kebijakan pemerintah yang memang melindungi rakyatnya. China menerapkan proteksi terhadap barang masuk yang berpotensi menggganggu industri rakyat. Salah satunya dengan menerapkan pajak impor yang sangat tinggi untuk barang sejenis yang sudah ada di China. China memberikan perlindungan terhadap industri-industri baru meski teknologinya hasil jiplak dari negara lain. Itu sebabnya, meski pun korupsi masih tinggi, namun karena kebijakannya benar-benar pro rakyat, hasilnya seperti yang kita lihat sekarang ini. Jadi, pemberantasan korupsi thok, bukan serta-merta akan meningkatkan kesejahteraan rakyat manakala tidak didukung dengan kebijakan yang pro kepada rakyat yang belum sejahtera.

Apa yang terjadi di Jakarta saat ini adalah contoh nyata. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) mungkin mampu menekan angka korupsi. Media-media mainstream dengan bahasa hiperbola terus mengangkat hal itu sebagai prestasi luar biasa. Namun apakah keberhasilan menekan angka korupsi itu berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat? Jawabnya: Tidak. Silahkan lihat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai angka kemiskinan di Jakarta. Silahkan kunjungi website resmi Pemda Jakarta dan lihat laporan tingkat kemiskinannya. Bandingkan jumlah orang miskin di Jakarta dari tahun 2012 sampai 2015. Ini fakta yang ada di depan kita, bukan hoax, bukan juga black campaign kepadaAhok karena bersumber dari pemda. Andai jumlah orang miskin tetap, sudah mencerminkan kegagalan seorang pemimpin daerah, apalagi jika angka kemiskinannya bertambah. Jangan lagi berdalih di balik perubahan standar kemiskinan, kebijakan nasional, urbanisasi dan lain-lain karena seorang pemimpin mestinya sudah bisa mengantisipasi, sigap mengambil langkah-langkah terhadap perubahan yang terjadi untuk melindungi rakyatnya.

Kata kuncinya ada pada kebijakan pemerintah daerah. Jika kita bicara Jakarta, maka keyword-nya ada pada kebijakan pemerintah daerah  DKI Jakarta sesuai paham otonomi daerah.  Gubernur, bupati dan walikota yang memiliki otoritas langsung terhadap rakyatnya.  Daerah yang memiliki penampungan untuk orang miskin. Daerah yang memiliki kewenangan untuk membina dan menyelamatkan anak-anak dari eksploitasi sindakat kejahatan. Jika di Jakarta masih terjadi eksploitasi terhadap anak-anak- entah dipekerjakan sebagai pengemis atau buruh pabrik, itu bukan kesalahan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tapi pemerintah daerah.

Alangkah naifnya reaksi Gubernur Jakarta terhadap kasus eksploitasi terhadap anak yang dibongkar oleh polisi. Alih-alih memikirkan solusi untuk menekan angka kemiskinan, Ahok malah langsung mewacanakan penghapusan kebijakan 3 in 1 yang sudah diberlakukan sejak 23 Desember 2003 lalu. Ahok beralasan, 3 in 1 dijadikan ajang untuk eksploitasi anak sementara kasus eksploitasi anak yang dibongkar polisi terjadi di wilayah Jakarta Selatan, khususnya kawasan Blok M. Kecuali Jalan Sisingamangraja yang berada di kawasan Blok M, jalan-jalan yang diberlakukan sistem 3 in 1 kebanyakan berada di Jakarta Pusat antara lain Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, Jalan Gajah Mada hingga Hayam Wuruk.

Memang ada sebagian joki 3 in 1 yang beraksi sambil menggendong anak kecil. Namun yang paling banyak justru orang dewasa tanpa anak-anak. Silahkan dilihat setiap pagi dan sore hari di kawasan Monas dan sekitarnya (Jalan Merdeka, khususnya Jalan Merdeka Barat yang mengarah ke Jalan Thamrin dan Merdeka Utara yang mengarah ke Majapahit hingga Gajah Mada).

Menghapus kebijakan 3 in 1 akan sangat melukai warga miskin di Jakarta. Mengapa? Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi kemaceten lalu lintas pada jam-jam sibuk (07-10 dan 16-19). Diharapkan, meski dalam satu keluarga memiliki lima mobil, hendaknya tidak satu orang membawa satu mobil, tetapi bisa bersama-sama dalam satu mobil. Memang menjadi repot jika arah yang dituju berbeda-beda. Tetapi itulah arti toleransi, kebersamaan dalam bermasyarakat. Orang kaya diharap ikut berpartisipasi dalam mengurangi kemacetan. Bahwa dalam perkembangannya orang-orang kaya tersebut tetap membawa mobil sendiri-sendiri dan di jalan kemudian menaikkan joki agar memenuhi ketentuan untuk melintas di jalanan yang diberlakukan 3 in 1, itu soal lain. Kembali kepada mental dan kepatuhan masing-masing.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun