Rasanya bak disambar petir ketika membaca berita pemerintah hendak mengimpor bawang merah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto usai mengikuti rapat di Kantor Kemenko Perekonomian. Padahal tahun ini produksi bawang merah diprediksi mencapai 1,1 juta ton di mana konsumsi hanya 950 ton. Dua bulan sebelumnya, Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian Spudnik Sujono juga mengatakan produksi bawang merah berlimpah.
Rencana pemerintah untuk impor bawang merah mendapat penegasan dari Menteri BUMN Rini Soemarno. Alasannya, harga bawang merah di pasar saat ini mencapai Rp 41.000/kg. Padahal Presiden Joko Widodo memberi target harga di kisaran Rp 25.000/kg sebelum memasuki bulan Ramadhan. Dengan alasan yang sama pemerintah juga akan mengimpor daging sapi karena harganya masih di kisaran Rp 113/kg, jauh di atas target Jokowi yang Rp 80.000/kg.
Impor juga akan dilakukan untuk gula mentah (raw sugar). Jumlahnya mencapai 381.000 ton. Karuan saja rencana impor gula tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama petani tebu karena musim giling tebu baru dimulai. Jika saat ini pasar digerojok gula impor, maka harganya akan langsung jatuh sehingga petani rugi.
Mengapa pemerintah lebih senang mengambil jalan pintas untuk mengamankan suatu kebijakan. Tidak salah Presiden meminta jajarannya agar menekan harga barang-barang konsumsi masyarakat, sampai pada level ideal. Mestinya hal itu direspon dengan kerja keras di lapangan, bukan menggunakan cara pintas melalui impor yang justru akan mematikan petani di dalam negeri.
Mari kita ambil contoh bawang merah. Data yang disuguhkan antar satu pejabat dengan pejabat lainnya pada satu kementerian tidak ada yang akur. Bahkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman pernah menyebut Indonesia mengimpor bawang merah secara legal rata-rata per tahun 30.000 ton-100.000 ton. Hal itu terjadi karena rata-rata produksi bawang merah kita hanya 800.000-900.000 ton per tahun sementara kebutuhan mencapai 900.000-950.000.
Namun pada tahun 2015 Kementan sudah memiliki anggaran untuk membuka 800-1.000 hektar lahan bawang merah baru di Bima. Dengan asumsi rata-rata produksi 3.000-4.000 ton per hektar, berarti kita sudah tidak perlu lagi mengimpor bawang merah. Apalagi ada pernyataan terbaru dari Dirjen Hortikultura yang menyatakan produksi bawang merah tahun 2016 diperkirakan mencapai 1,1 juta ton alias surplus pada kisaran 100.000-150.000 ton.
Terlepas dari data yang simpang-siur, namun cara pintas yang diambil kementerian terkait untuk mengimpor bawang merah- juga gula pasir, sangat tidak masuk akal karena bertentang dengan semangat untuk meningkatkan kesejahteraan petani di dalam negeri. Bukan cerita baru jika banyak petani kita yang beralih pekerjaan karena kurangnya perhatian pemerintah.
Harga turun hingga ke titik di bawah ongkos produksi adalah ‘hantu’ yang paling menakutkan bagi petani. Pemerintah yang diharapkan tampil sebagai penyelamat, malah tidak hadir karena adanya main mata antara pegawai yang ditugasi untuk melakukan stabilitas harga dengan mafia dan tengkulak.
Bertahun-tahun lalu kita disuguhi berita tentang petani singkong yang membuang hasil panennya, tentang petani tomat yang menumpahkan keranjang panennya di jalanan karena kesal dengan jatuhnya harga komoditi itu di saat mereka panen. Pemerintah tidak mau mengeluarkan dana talangan untuk membeli komoditi itu langsung dari petani dan melepasnya secara bertahap ke pasar agar harga tetap stabil.
Pemerintah tutup mata sehingga akhirnya petani tidak mau lagi bercocok-tanam. Mereka memilih bekerja sebagai buruh kasar di kota-kota. Negeri agraris ini pun berubah menjadi bangsa pengimpor hasil pertanian.
Pemerintahan Jokowi-JK semula terlihat ingin mengembalikan kedaulatan pangan kita. Berbagai program dibuat untuk mendukung tumbuh-kembangnya sentra-sentra pertanian baru untuk memenuhi kebutuhan pokok di dalam negeri sehingga kita tidak perlu impor bahan pangan lagi. Itu sebabnya berita bahwa pemerintah akan mengimpor bawang merah membuat kita terperanjat. Benarkah pemerintah telah kalah oleh mafia? Oleh segelintir pengusaha, sejumlah pejabat korup yang menikmati “uang haram” dari selisih harga impor dengan mengorbankan para petani?