Butuh keimanan untuk memahami dan menafsirkan firman Tuhan dalam kitab suci. Maka menjadi mustahil seseorang yang tidak mengimaninya, bisa memahami makna yang tersurat, apalagi yang tersirat dalam sebuah kitab suci. Demikian juga dengan kisah-kisah dan ucapan nabi yang berkaitan dengan keimanan.
Sulit bagi kalangan non Muslim untuk memahami dan percaya Nabi Muhammad SAW pernah membelah bulan hanya dengan isyarat jarinya. Meski misalnya sederet bukti ilmiah disodorkan, tetap saja dia tidak akan bisa memahami dan mempercayainya. Mengapa? Sebab yang berperan di sini keimanan. Sama halnya, sulit bagi kaum non Kristiani untuk memahami dan percaya Jesus anak Tuhan atau konsep Trinitas, meski dijejalkan seribu argumen dan bukti-bukti ilmiah. Sekali lagi ini berkaitan dengan iman dan keimanan seseorang.
Demikian juga karya sastra. Meski berbeda dengan kitab suci, memahami karya sastra juga membutuhkan “sense”, ketertarikan dan wawasan. Cobalah bawa karya sastra yang paling adiluhung kepada orang yang tidak paham, tidak punya sense, terhadap karya sastra. Dijamin 99,9 persen dia akan mencibirnya, bahkan mencelanya. Ketika disodorkan fakta bagaimana karya sastra tersebut telah mengubah peradaban dunia, dia pun tidak akan percaya.
Ulama atau pendeta, atau biksu yang mengabarkan firman Tuhan tidak bisa dituduh SARA. Ketika ada ulama mengatakan kaum Muslim dilarang berteman dengan non Muslim (apalagi dijadikan pemimpin), bukanlah SARA karena dia tengah menjalankan kewajibannya sebagai ulama yaitu mengabarkan firman Tuhan. Namun tidak salah juga ketika kaumnya, umatnya, memaknai apa yang disampaikan oleh ulama tersebut dengan situasi dan kondisi sekitarnya.
Mari kita ambil contoh sederhana. Umat islam dilarang untuk mendekati anjing karena najis. Batallah wudhu kaum Muslim manakala bersentuhan dengan anjing, apalagi sampai terkena air liurnya. Tak henti-hentinya ulama mengabarkan hal itu. Tetapi ketika melihat ada anjing tengah sekarat karena kehausan, wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk memberi minum. Bahkan seseorang yang habis berzina (sebuah perbuatan terlarang dalam Islam) tapi memberi minum pada anjing yang tengah kehausan, dan setelah itu si penzinah meninggal dunia, Allah SWT mengganjarnya dengan surga.
Mengapa demikian? Ada ayat lain yang mewajibkan kaum Muslim untuk menyayangi semua binatang, menyayangi semua makhluk ciptaanNya. Kasih sayang, menyayangi makhluk ciptaanNya, memiliki nilai lebih tinggi. Tetapi bukan berarti mengabaikan larangNya.
Kita ambil contoh lain. Apakah jihad dengan meledakkan diri dibenarkan dalam Islam? Dalam situasi perang, di mana agama islam terancam, diwajibkam bagi setiap Muslim untuk berjihad. Tetapi bukan berarti Islam tidak menghargai kehidupan karena Allah SWT lebih suka Muslim tetap hidup dengan cara apapun untuk mengabarkan firman Tuhan dan menciptakan kedamaian di dunia. Buktinya, ketika tidak ada makanan lain, Tuhan “mengizinkan” Muslim memakan daging babi yang dalam situasi normal diharamkan, agar dia tidak mati kelaparan.
Ayat dalam kitab suci tidak berdiri sendiri. Antara satu ayat dengan ayat lainnya pasti bertali-temali. Tidak bisa mengutip satu ayat dengan mengabaikan ayat lainnya.
Atas dasar pemahaman inilah maka tafsir kitab suci hanya bisa dilakukan oleh mereka yang benar-benar memahami dan mengimaninya. Jadi salah besar manakala menyimpulkan kitab suci hanya bisa dipahami oleh penciptaNya sehingga bebas ditafsirkan oleh siapapun. Tuhan memberi nalar kepada umat manusia agar digunakan untuk memahami dan menafsirkan firman-firmanNya dengan catatan memiliki ilmu dan keimanan yang cukup.
Adalah salah besar ketika mengatakan hanya Chairil Anwar yang tahu isi dan makna puisi-puisinya. Yang benar adalah diperlukan sense, pengetahuan dan terutama ilmu tentang puisi untuk memahami dan menikmati karya-karya Chairil Anwar.
Lalu bagaimana menciptakan kedamaian di dalam komunitas mejemuk, dengan keimanan dan pola pikir heterogen? Dibutuhkan jembatan yang bernama toleransi. Dalam Islam dikenal dengan lakum dinukum waliyadin: bagimu agamamu, bagiku agamaku. Namun toleransi hendaknya dipahami dua arah. Tidak bisa satu pihak selalu dituntut untuk bersikap toleran sementara pihak lain dibiarkan berlaku intoleran. Toleransi juga tidak bisa dipahami dengan kaca mata kuda. Ketika kepentingannya dirugikan, berteriak-teriak toleransi, tetapi ketika menyangkut kepentingan orang lain, dirinya menutup mata. Toleransi harus berlaku dalam segala lini kehidupan baik agama, politik, ekonomi dan pergaulan sosial lainnya.