Menguasai bukan berarti memiliki. Kalimat tersebut sangat sederhana sehingga tidak memerlukan pemahaman dengan ilmu khusus. Menguasai adalah berkuasa atas sesuatu (benda, usaha, organisasi, etc). Sedangkan memiliki  adalah mempunyai (barang, usaha, etc). Dengan begitu,  seseorang/lembaga yang menguasai suatu benda, barang, etc, belum tentu merupakan pemiliknya. Sebaliknya, memiliki juga belum tentu menguasai.
Kepemilikan harus dibuktikan dengan dokumen, surat, pernyataan tertulis lainnya, yang dikeluarkan oleh lembaga  yang diberi wewenang oleh negara untuk membuat dokumen, surat, pernyataan kepemilikan tertulis lainnya atas suatu objek (lahan, barang, etc).
Contohnya, sekelompok orang yang menduduki atas suatu lahan namun lahan tersebut bukan miliknya karena mereka tidak memiliki dokumen, surat, pernyataan tertulis lainnya dari lembaga yang telah diberi wewenang oleh negara  untuk membuat dokumen, surat, pernyataan kepemilikan tertulis lainnya atas suatu barang. Artinya dia menguasai lahan tersebut (de facto), namun tidak memilikinya (de jure).
Dari ilustrasi di atas, maka pernyataan pakar hukum Prof Yusril Ihza Mahendra bahwa negara tidak memiliki lahan (tanah), melainkan hanya menguasai, sudah betul dan tepat. Wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dikuasai oleh negara bernama Indonesia. Namun lahan di dalamnya, dimiliki oleh pribadi-pribadi, instansi, atau badan hukum lainnya. Jika karena suatu hal negara ingin memiliki lahan tersebut, maka negara harus membeli dari pemiliknya.
Bagaimana dengan tanah-tanah yang belum dimiliki oleh pribadi, instansi atau badan hukum lain? Secara otomatis lahan tersebut dalam penguasaan negara, dikuasai negara, sampai pada suatu saat ada yang mengajukan kepada negara untuk memilikinya. Negara melalui lembaga kenegaraan memenuhi permintaan itu setelah calon pemiliknya memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Timbul pertanyaan, jika negara tidak memiliki, mengapa negara bisa memberikan? Jawabnya mudah saja, objek tersebut belum ada pemiliknya, sehingga yang berwenang adalah pihak yang menguasainya, dalam hal ini negara.
Mari kita ambil contoh tanah bekas miliki perusahaan Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, maka lahan-lahan milik perusahaan Belanda yang didapat di masa penjajahan, dikuasai oleh negara. Negara tidak menerbitkan bukti kepemilikan, karena memang hanya menguasai, bukan memiliki. Atas tanah tersebut, seseorang atau sekelompok orang atau badan usaha, kemudian mengajukan permohonan untuk menjadi pemiliknya. Setelah memenuhi persyaratan, negara lantas memberikan lahan yang dikuasainya kepada pemohonannya, melalui lembaga-lembaga yang telah diberi kewenangan oleh negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada.
Apakah setelah itu negara tidak lagi menguasai lahan tersebut? Negara tetap menguasainya secara politik, sebagai bagian dari wilayah politik suatu bangsa, nation. Buktinya, pemilik lahan yang berada di wilayah Indonesia tidak bisa memberikannya kepada orang-orang, badan usaha, instansi yang dilarang oleh negara. Contohnya, kita tidak bisa memberikan atau menjual, lahan yang kita miliki kepada militer asing. Jadi meski kepemilikannya ada pada warga, namun negara tetap menguasainya secara politik sehingga pemiliknya harus tunduk kepada aturan-aturan negara.
Bagaimana dengan Monas, atau kawasan lainnya yang dikuasai oleh negara? Kawasan-kawasan yang telah ditetapkan oleh negara- melalui lembaga-lembaga negara, sebagai kawasan tertentu dan diurus oleh lembaga yang dibentuk oleh negara, tidak bisa dimohonkan untuk dijadikan hak milik perorangan, instansi, badan hukum lainnya. Ada aturannya. Contoh lainnya, adalah kawasan hutan lindung. Sebagai penguasa atas hutan tersebut negara lantas membuat aturan bahwa hutan tersebut tidak bisa dimiliki oleh orang, instansi, badan hukum lainnya karena telah ditetapkan sebagai kawasan tertentu. Negara yang kemudian mengatur kewenangan dan mengurus lahan tersebut melalui lembaga yang ditunjuk/ditetapkan dengan undang-undang..
Jadi, alangkah naifnya ketika Fadjroel Rachman berpikir bahwa karena negara tidak memiliki lahan, hanya menguasainya, semua lahan lantas bisa dijadikan hak milik, termasuk lahan yang sudah diberikan negara kepada suatu intansi. Dengan pikir keliru itu, Fadjroel lantas mengajak masyarakat untuk menduduki Monas. Ingat, lahan Monas bukan milik negara tetapi berada di bawah kewenangan lembaga yang sudah diberi hak oleh negara  melalui undang-undang untuk mengurusnya. Dengan pemahaman itu, maka lahan Monas tidak bisa dimohonkan oleh pribadi, instansi atau badan hukum lainnya, untuk dijadikan hak milik.
Hal ini berbeda dengan lahan yang tidak diurus oleh intansi yang ditunjuk negara, belum dimiliki oleh pribadi atau badan hukum lainnya. Terhadap lahan-lahan tersebut, siapa saja boleh mengajukan permohonan sebagai pemiliknya dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh negara.
Pernyataan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Ferry Mursyidan Baldan bahwa lahan di Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara ‘milik’ negara benar adanya sepanjang maksud dari kata ‘milik’ di sini adalah ‘berkuasa’. Mengapa? Karena sampai hari ini belum ada pihak yang memiliki tanda bukti kepemilikan yang dikeluarkan oleh badan/instansi yang memiliki kewenangan untuk membuat surat, dokemen, atau bukti kepemilikan lainnya atas lahan tersebut. Namun berdasarkan uraian di atas, warga yang saat ini mendiami, menguasai lahan Luar Batang, memiliki hak untuk mengajukan permohonan kepada negara untuk memilikinya, sesuai dengan UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.