Andai 14 pelaku pemerkosaan terhadap Yuyun, gadis kecil berusia 14 tahun ditebas lehernya, dipancung burungnya, dikebiri dengan zat kimiawi, tidak akan mengembalikan keadaan. Yuyun tetap meninggal dunia, duka tetap bersemayam dalam jiwa-jiwa yang mendambakan kedamaian.
Kalimat bersayap di atas, benar-benar mematik amarah penulis. Apa yang disampaikan itu benar, tetapi tidak benar. Benar bahwa menghukum sekeras-kerasnya pelaku tidak akan mengembalikan Yuyun ke dunia ini. Benar bahwa duka tetap akan ada, meski para pelakunya dihukum mati. Tetapi menjadi tidak benar karena kesimpulan semacam itu mengingkari kemungkinan akan terjadinya kasus serupa di lain waktu, lain tempat, lain korban. Tidak benar karena pendapat itu hanya didasarkan pada satu kejadian: pemerkosaan disertai pembunuhan terhadap Yuyun, sementara ke depan belum ada jaminan kondisi keamanan, perlindungan terhadap anak-anak perempuan, akan lebih baik.
Pernyataan Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pindum) Kejari Curup, Aan Tomo bahwa Jaksa penuntut umum (JPU) ‘hanya’ menerapkan pasal dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara, jelas melukai rasa keadilan masyarakat, meski secara hukum dibenarkan.
“Sesuai dengan UU Perlindungan Anak, bahwa hukuman maksimal 15 tahun penjara. Dalam aturannya, jika anak di bawah umur maka hukuman hanya separuhnya, makanya hanya 7,2 tahun. Karena dua kasus pembunuhan dan perkosaan, maka hukuman ditambah sepertiga dari ancaman hukuman makanya ditambah 2,5 tahun sehingga tuntan maksimal 10 tahun,” kata Aan seperti dikutip di sini : http://news.detik.com/berita/3204120/7-pelaku-pemerkosaan-di-bengkulu-minta-keringanan-jaksa-tetap-tuntut-maksimal
Aparat penegak hukum di wilayah Bengkulu harus berani menjerat para pelaku dengan pasal-pasal dalam KUHP karena kasus ini merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jika memang UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak yang bersifat lex specialis tidak memungkinkan untuk menjerat para pelaku dengan hukuman seumur hidup, penegak hukum bisa menambahkan pasal 339 KUHP tentang Pembunuhan dengan Pemberatan yang ancaman hukumannya seumur hidup.
Ada tindak kejahatan lain yang dilakukan 14 pelaku (dua belum tertangkap) sebelum melakukan pembunuhan yakni perkosaan, sehingga memudahkan para pelaku untuk melakukan pembunuhan karena korban sudah tidak berdaya. Bahwa ada pendapat pembunuhan dilakukan sebagai tindak lanjut perbuatan pertama (perkosaan) dan dalam rangka menghilangkan barang bukti, menutup terbongkarnya kasus tersebut jika korban tetap hidup, masih bisa diperdebatkan. Sebab tetap tidak tertutup kemungkinan rencana untuk memperkosa juga sudah disertai dengan niat membunuh.
Kita hanya ingin aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) berani melakukan terobosan hukum dalam kasus ini, tanpa bermaksud untuk mengingkari keberadaan UU Perlindungan Anak yang lebih bersifat khusus.Bukankah selama ini juga masih banyak kasus kekerasan anak dijerat dengan pasal KHUP? Mengapa dalam kasus ini para penegak hukum tidak berani melakukan terobosan dengan menggunakan pasal 339 KUHP?
Salah satu contoh kasus kejahatan terhadap anak yang dijerat dengan pasal KUHP adalah kasus kematian Engeline di Bali. Sang terdakwa- Margriet Christina Megawe dijerat dengan pasal yang termaktub dalam KHUP dan juga UU Perlindungan Anak. Adapun pasal-pasal yang dikenakan adalah Pasal 340 tentang Pembunuhan Berencana dan Pasal 338 Pembunuhan (KUHP), serta Pasal 77 B tentang Penelantaran Anak (UU Perlindungan Anak)
Mungkin saja penerapan pasal berlapis selain dari UU Perlindungan Anak, namun juga dari KUHP, dalam kasus ini akan menimbulkan pro-kontra para ahli hukum, Komnas Pelindungan Anak dan juga Komnas HAM, mengingat pelakunya juga masih di bawah umur. Namun publik pasti akan bisa menerimanya mengingat kejahatan yang dilakukan ke 14 pelaku sangat luar biasa, menghantam sisi-sisi kemanusian kita. Tidak terbayangan derita yang dialami Yuyun ketika ke 14 manusia tanpa hati itu menerkam dirinya, mencabik-cabik tubuhnya, demi kepuasan sesaat. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk bisa menggambarkan kepedihan gadis kecil itu. Tiada cukup air mata kita untuk mengekpresikan kesedihan.
Hukuman yang berat juga dimaksudkan untuk memberikan pesan kepada siapa saja yang coba-coba ingin melakukan tindakan serupa. Jadi hukuman yang keras, maksimal, harus dilakukan dengan semangat untuk menimbulkan efek jera bukan hanya kepada para pelakunya, tetapi sekaligus memagari gadis-gadis kecil lainnya dari kemungkinan menjadi korban manusia-manusia tanpa hati seperti 14 pelaku tersebut. Kasus Yuyun harus menjadi monumen peringatan bagi semua pihak: efek jera bagi pelaku, warning bagi calon pelaku, pesan untuk orang tua agar lebih ketat menjaga anak-anaknya, sekaligus seruan kepada negara agar tidak abai untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak sebagai generasi pewaris negeri ini.