Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ini Ibu Budi dan Isu Jawa Sentris

12 Mei 2016   14:02 Diperbarui: 13 Mei 2016   16:33 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: museumku.files.wordpress.com

Tudingan bahwa Indonesia itu identik dengan Jawa, bukan hal yang aneh. Sejak era 80-an isu itu terus berkembang dan berembus diam-diam. Di daerah-daerah konflik seperti Aceh dan Papua, Jawa sentris menjadi bahan diskusi yang akan diakhiri dengan pembenaran secara sepihak.

Setidaknya ada tiga hal mengapa isu Jawa sentris begitu kencang berembus. Pertama program transmigrasi. Program pemindahan penduduk (umumnya) dari Jawa ke berbagai pulau di Indonesia, dianggap sebagai bentuk ‘penjajahan’ orang Jawa. Terlebih dalam perjalanannya, daerah-daerah transmigrasi banyak berkembang menjadi kota mandiri.

Menurut Menteri Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendesa PDTT), Marwan Jafar, saat ini dari 3.608 satuan permukiman (SP) transmigrasi yang berada di 619 wilayah, 1.183 SP telah berkembang menjadi desa definitif, 385 SP menjadi ibu kota kecamatan, 104 SP menjadi pendukung terbentuknya ibu kota kabupaten, serta 2 SP menjadi ibu kota provinsi. Selengkapnya baca di sini

Kedua, konsentrasi pembangunan. Selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto, pembangunan Indonesia bagian barat (baca: Jawa), dituding lebih gebyar dibanding pembangunan di bagian timur. Tudingan itu tidak sepenuhnya salah. Bahkan Presiden Joko Widodo pun mengakuinya yang tercermin dari ucapannya saat menjadi inspektur upacara Hari Pahlawan di Surabaya, 2015 lalu. Saat itu Jokowi mengatakan sekarang Indonesia tengah berubah ke arah Indonesia sentris, bukan Jawa sentris lagi. Artinya Jokowi yang pernah tinggal dan bekerja di Aceh telah mendengar isu miring tersebut dan sekarang mencoba menjawabnya dengan menggenjot pembangunan di kawasan timur Indonesia dan juga di bagian barat secara berimbang.

Ketiga, pendidikan yang mengabaikan kekayaan budaya lokal. Salah satunya tercermin dari buku pelajaran membaca anak-anak Sekolah Dasar berjudul 'Ini Ibu Budi' karya Siti Rahmani Rauf. Buku yang mulai diajarkan di sekolah akhir tahun 70-an ini sangat bagus karena menggunakan dua metode sekaligus yakni bacaan dan (gambar) alat peraga yang disebut Struktur Analitik Sintesis (SAS) Bahasa Indonesia, sehingga anak-anak menjadi lebih mudah mempelajari dan memahaminya.

Mengapa buku 'Ini Ibu Budi' dianggap sebagai bagian dari Jawa sentris? Padahal penciptanya bukan orang Jawa? Hal itu terkait nama tokoh yang pakai yakni ‘Budi’. Nama ‘Budi’ diambil dari bahasa Jawa yang berarti berbudi luhur. Anak-anak di Jawa banyak yang bernama Budi meski diberi imbuhan agar tetap berakhiran ‘o’, misalnya Budiono, Budianto. Orang-orang Melayu tentu tidak kesulitan melafalkan ‘Budi’ karena kata ‘Budi’ juga dikenal dalam bahasa Melayu meski memiliki arti yang sedikit berbeda dan sangat jarang dijadikan nama orang. Jika pun dipakai, imbuhannya pasti berbeda karena menyesuaikan dengan ‘rasa’ Melayu. Contohnya: budimansyah.

Namun bagaimana dengan anak-anak dari suku bangsa lainnya seperti Batak, Papua dan Dayak? Di Papua, misalnya, tidak ada anak bernama Budi. Namun ketika bersekolah mereka harus menghafal nama Budi. Imajinasinya tentu akan berbeda manakala untuk pelajaran yang sama menggunakan kalimat: “Ini Mama Enembe” atau “Ini Mama Lucas”. Demikian juga di Manado, Tapanuli dan lain-lain.’

Dari situlah kemudian berkembang isu pemaksaan kebudayaan Jawa kepada orang-orang non Jawa. Ditambah lagi dengan pendekatan militeristik yang dipakai Pak Harto bagi daerah-daerah yang ‘membangkang’ terhadap kebijakan (apa pun) yang diterapkan dari pusat (Jawa), klop sudah tudingan Jawa sentris itu.

Sebenarnya para pejabat Orde Baru sudah menyadari hal itu. Buktinya Tahun 1987 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan keputusan Nomor 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987, tentang muatan lokal. Saat itu muatan lokal masih dimasukkan ke dalam berbagai bidang studi yang relevan. Baru dalam Kurikulum 1994, muatan lokal menjadi mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau tidak lagi diintegrasikan pada mata pelajaran lainnya. Meski tidak serta merta menghilangkan isu Jawa sentris, namun setidaknya telah memberi kesempatan kepada daerah-daerah dengan kebudayaan khasnya, termasuk bahasa dan kekayaan lokal lainnya, untuk diajarkan di sekolah-sekolah.

Tentu kita tidak bisa menghapus sejarah. Bahwa ada catatan-catatan gelap, yang tersembunyi di ruang-ruang sepi, kiranya cukup untuk dijadikan pelajaran bagi kita semua. Semoga hari ini dan hari-hari selanjutnya kita- sesama anak bangsa, bisa hidup berdampingan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa dibumbui rasa curiga.

Bukan salah Ibu Siti Rahmani Rauf jika benar Orde Baru memanfaatkan karyanya untuk tujuan-tujuan politik. Penulis adalah salah satu anak Indonesia yang mendapatkan ilmu dari buku “Ini Ibu Budi”. Dari situlah penulis mulai belajar membaca dan menulis.

Selamat jalan Bu Siti Rahmani Rauf, jasamu akan selalu dikenang...

Salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun