Foto saat Puan Maharani mengajak Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud selfie bersama Megawati Soekarnoputri disaksikan Presiden Joko Widodo mendapat sorotan luas. Salah satu alasannya karena dalam foto tersebut Megawati tidak mengenakan penutup rambut dan membiarkan bahunya terbuka lebar. Raja Salman pun menebar senyum bahagia dan tidak terlihat risih berada di antara dua perempuan yang bukan mahramnya.
Sikap Raja Salman sepertinya ditujukan untuk memberi pesan kepada dunia sekaligus menjadi penanda telah terjadi reformasi terkait cara pandang hukum Islam, khususnya di tengah keluarga Kerajaan Arab Saudi. Sebab jika dikaitkan dengan sejumlah fatwa ulama besar, termasuk mantan mufti Kerajaan Arab Saudi Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, berfoto apalagi dengan wanita yang bukan mahram dan tidak mengenakan busana Muslim, termasuk kategori pembuatan gambar yang diharamkan.
Meski ada juga ulama yang memperbolehkan karena foto berbeda dengan lukisan, namun hingga sebelum tahun 2000-an, mayoritas masyarakat Arab Saudi cenderung mendukung fatwa Syaikh Bin Baz.
Perubahan sikap yang ditunjukkan Raja Salman tidak berdiri sendiri. Jauh sebelumnya, Kerajaan Arab Saudi sudah memperbolehkan kaun wanita untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum berskala kota. Sejumlah pengamat bahkan memprediksi tidak lama lagi Arab Saudi akan memperbolehkan wanita untuk menyetir mobil meski tetap harus didampingi mahramnya saat bepergian. Terbaru, Arab Saudi telah menggantikan penanggalan Hijriah yang sudah digunakan sejak negeri itu berdiri pada 1932 dengan Kalender Masehi.
Menariknya, reformis Arab Saudi justru berasal dari dalam istana sendiri. Adalah Putri Ameera al-Taweel yang menjadi penyokong gerakan reformasi di tubuh Kerajaan Arab Saudi dan juga seluruh wilayah Arab. Putri Ameera bersama mantan suaminya Pangeran Alwaleed bin Talal, mendesak otoritas Arab Saudi untuk mencabut larang berkendara bagi wanita. Dalam berbagai pose di tempat umum, Putri Ameera juga terlihat membiarkan rambutnya tergerai tanpa penutup.
Perubahan yang terjadi di Kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari Visi 2030 yang telah dicanangkan dan landasannya tengah dipersiapkan. Kunjungan Raja Salman dengan membawa rombongan super besar, tidak semata-mata untuk siar agama, namun juga kepentingan bisnis dalam rangka mensukseskan Visi 2030. Salah satu titik terpenting dari Visi 2030 yang telah diumumkan pada 25 April 2016 oleh Deputi Putra Mahkota Pangeran Mohammad bin Salman al-Saud adalah mengubah ketergantungan pendapatan negara dari minyak ke sektor non-minyak. Sebagai langkah awal Saudi akan melepas 5 persen saham Aramco- perusahaan minyak milik Arab Saudi, di mana dana yang diperolehnya akan digunakan untuk sovereign wealth fund.
Perubahan yang tengah digelorakan Raja Salman dan keluarga kerajaan lainnya, mendapat tentangan dari sejumlah kalangan, terutama ulama-ulama puritan. Letupanh-letupan kekerasan mulai terjadi seperti ledakan bom diri yang terjadi di Madinah beberapa waktu lalu. Meski motif sebenarnya masih kabur, tetapi banyak pihak meyakini aksi tersebut juga terkait kebijakan Visi 2030 yang diumumkan tiga bulan sebelumnya.
Bagi penentangnya, Visi 2030 akan menempatkan Arab Saudi layaknya negara sekuler. Hal itu membahayakan keberadaan dua Kota Suci, Makkah dan Madinah. Kelompok berpaham Wahabi- pemurnian Islam, gerah karena Visi 2030 memungkinkan orang asing ikut mengendalikan kebijakan atas Tanah Suci dengan kekuatan uangnya. Mereka menilai swastanisasi Aramco hanya langkah awal masuknya modal asing ke perusahaan Negara. Artinya, bukan mustahil kelak pihak kerajaan juga akan memberi pintu masuk bagi modal asing ke sektor-sektor lain yang berhubungan dengan kegiatan ibadah di dua Kota Suci.
Ke depan, gerakan penentang Visi 2030 akan semakin kuat. Arab Saudi akan mengalami gonjangan sosial sebagaimana umumnya peristiwa reformasi di negara-negara lain. Meski mampu menghindar dari gelompang Arab Spring 2011, yang telah menggulingkan sedikitnya 5 penguasa di negara-negara Islam- dari Yaman hingga Libya, bukan tidak mungkin ke depan Kerajaan Arab Saudi akan mengalami “musim semi” lain yang tidak dikehendaki.
Visi 2030 Arab Saudi juga akan berdampak luas bagi Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim. Sejumlah kelompok di Indonesia, termasuk Hizbut Tahrir, telah menyuarakan kesinisan terhadap Visi Arab 2030. Tentu hal ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Selain turut menikmati keterbukaan ekonomi dan peningkatan kuota haji, Indonesia juga akan terkena imbas dari kelompok yang tidak setuju dengan reformasi yang tengah dilakukan Kerajaan Arab Saudi.
Salam @yb