Perseteruan antara Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sudah diketahui publik jauh sebelum gelaran Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Bali. Bukan rahasia juga jika JK menjagokan Ketua DPR Ade Komarudin (Akom), sedangkan LBP mendukung mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov). Satu-satunya yang belum diketahui kebenarannya adalah pesan-pesan dari Presiden Joko Widodo yang dibawa LBP. Bahkan kubu Akom meyakini tidak ada pesan dari Presiden terkait siapa yang ‘direstui’ pemerintah sebagai ketua umum Partai Golkar.
Terlepas benar atau tidaknya ada pesan semacam itu, namun manuver Luhut yang mencatut nama Presiden tentu sangat berbahaya. Apalagi Luhut sepertinya menganggap hal itu sesuatu yang wajar. “Kan saya orang Golkar. Boleh dong milih untuk pribadi, atau membawa pesan-pesan presiden, boleh-boleh aja,” kata Luhut.
Sikap Luhut mengingatkan kita pada masa orde baru di mana ketua umum Golkar harus mendapat restu dari Presiden Soeharto. Pengurus apa pun di negeri ini, baik sipil, militer, pemerintahan maupun swasta, harus mendapat restu Cendana. Restu tersebut bersifat final, dan mengikat sehingga tidak untuk diperdebatan, atau ditawar. Tidak heran jika banyak pejabat di bawah kemudian ikut memanfaatkan hal itu untuk kepentinganya. Jika pejabat sudah mengatakan “ini pesan Cendana”, “ini perintah Cendana”, maka tidak ada satu pun orang yang berani menanyakan apakah pesan atau perintah benar-benar datang dari Cendana.
Pola restu untuk menduduki jabatan tertentu sudah tidak berlaku lagi setelah Soeharto tumbang dihantam badai krisis ekonomi yang berujung pada krisis kepercayaan rakyat. Bahkan segala sesuatu yang berbau Cendana sempat menjadi cemoohan. Golkar sebagai mesin politik Soeharto, terkena imbasnya. Meski tidak jatuh ke titik nadir, namun Golkar tidak lagi menjadi kekuatan politik yang dominan di negeri ini. Tercatat, setelah Soeharto tumbang, Golkar hanya satu kali memenangkan pemilu yakni pada Pemilu 2004 di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung.
Melihat manuver Luhut, kita seperti diingatkan jika budaya restu ingin dihidupkan lagi melalui tangan-tangan pejabat lawas yang saat ini kembali ke panggung kekuasaan. Pertanyaannya, benarkah Luhut membawa pesan dari Presiden Jokowi? Ataukah Luhut hanya bersikap seperti kebanyakan pejabat era orde baru yang gemar mencatut nama Cendana untuk kepentingan pribadi? Untuk mendapatkan jawabannya, kita harus melihat manuver politik Jokowi setelah terpilih menjadi presiden. Sulit dipungkiri, ada hasrat luar biasa yang terpancar dari beberapa manuver Jokowi untuk menjadi pusat kekuasaan seperti pernah ditulis di sini
Bagi orang-orang yang berseberangan dengan Jokowi, akan sangat mudah untuk menudingkan telunjuknya ke istana sebagai pihak yang berada di belakang kekisruhan beberapa partai politik seperti PPP, Golkar dan terakhir PKS. Hanya dengan campur tangan istana pula tensi perpecahan di tubuh PPP dapat diredam meski masih membutuhkan waktu untuk benar-benar mencapai islah. Demikian juga dengan Golkar. Kuatnya pengaruh istana juga bisa dilihat dari upaya Fahri Hamzah merapat ke Partai Demokrat setelah dipecat PKS. Fahri sama sekali tidak memiliki keinginan untuk bergabung dengan partai asuhan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Fahri hanya tengah berupaya membendung pengaruh Jokowi di PKS melalui tangan Demokrat. Hitung-hitungannya, andai Fahri mendapat sokongan Demokrat, kursi wakil ketua DPR yang masih diduduki, meski dirinya sudah dipecat oleh PKS, akan aman. Fahri juga bisa melakukan manuver lain dengan memanipulasi kekuatan DPR untuk menantang Jokowi. Hanya saja manuvernya terlalu dipaksakan sehingga mudah dibaca istana. Bukan mendapat sambutan yang positif, SBY bahkan sama sekali tidak merespon karena SBY tahu jika sampai menerima ‘pinangan’ Fahri, bukan mustahil ‘kapal’ Demokrat yang pecah sebagaimana diisyaratkan Ruhut Sitompul.
Kedua, terkait ‘pembiaran’ kisruh di kabinet. SBY memaknai kisruh antar anggota Kabinet Kerja sebagai ketidakmampuan Jokowi mengelola kabinetnya. Namun sejatinya, Jokowi tengah menggunakan manajemen konflik di dalam pemerintahnnya. Melalui konflik itulah Jokowi akan menjadi pusat kedua pihak, sekaligus mengetahui siapa yang loyal, siapa yang berkhianat. Ketika kasus Papa Minta Saham mencuat, sebagian pengamat berpendapat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said akan “naik daun’ karena berhasil membongkar persekongkolan jahat Setnov dkk. yang mencatut nama Presiden untuk mendapatkan saham dan proyek energi di PT Freeport Indonesia. Namun apa yang terjadi kemudian? Nama Sudirman Said tenggelam karena kasus itu berhenti hanya sampai pengunduran diri Setnov dari kursi ketua DPR. Nama Sudirman Said semakin tenggelam setelah Presiden Jokowi memutuskan untuk membangun kilang gas Blok Masela di Maluku dengan skema pipanisasi di darat (onshore) seperti yang direkomendasikan Menko Kemaritiman Rizal Ramli. Padahal sebelumnya para pengamat, termasuk Faisal Basri, telah memberikan masukan kepada Presiden Jokowi untuk menerima usulan Sudirman Said yang menghendaki kilang offshore.
Ketiga, upaya untuk mereduksi pengaruh JK. Salah satu musuh utama seorang presiden atau kepala daerah, adalah wakilnya. Banyak contoh bagaimana wakil presiden juga menjadi otak penggulingan presiden. Penggulingan Presiden Brasil Dilma Rousseff tidak terlepas dari langkah politik wakilnya Michel Temer yang kemudian ditunjuk oleh Senat untuk menggantikan kursi yang ditinggalkan Rousseff. Jokowi juga belajar dari kasus pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid yang mendapat ‘restu’ dari wakilnya, Megawati, yang kemudian naik menggantikan posisi Gus Dur. Di awal masa pemerintahannya, kekuatan politik Jokowi di DPR sangat rendah. Andai saja JK bermanuver melalui tangan Golkar di DPR, bukan hal yang sulit untuk menggulingkan Jokowi. JK hampir sukses menjungkalkan Aburizal Bakrie (Ical) dari tampuk Golkar. Andai Agung Laksono berhasil menguasai Golkar maka, JK memiliki kekuatan yang sangat signifikan untuk menekan Jokowi. Merasa dalam bahaya, Jokowi yang semula sudah siap menerima Golkar di bawah kendali Agung Laksono, segera berbalik. Hasilnya kisruh Golkar nyaris tanpa ujung.
JK kemudian melihat peluang ketika Akom dilantik menjadi ketua DPR menggantikan Setnov. Secara terbuka JK mengirim dukungan kepada Akom untuk mengambil-alih Golkar dari tangan Ical. Dengan memanfaatkan sisa-sisa pengaruhnya di Golkar, JK ditunjuk oleh Mahkamah Partai sebagai ketua Tim Transisi. Jokowi yang melihat adanya bahaya, segera merapat ke Ical. Gelaran Rapimnas Golkar yang didukung Jokowi melahirkan dua keputusan penting yakni dukungan Golkar terhadap pemerintah dan digelarnya Munaslub yang dikendalikan kubu Ical. Jokowi tidak mempunyai pilihan kecuali merestui gelaran Munaslub yang diselenggarakan oleh kubu Ical dengan satu syarat ketua terpilih memiliki komitmen untuk mendukung pemerintah (baca: Jokowi).
Dari uraian tersebut, wajar jika kemudian Jokowi mengirim orangnya untuk memastikan hasil gelaran MUnaslub tidak jatuh ke kubu JK. Kehadiran Luhut di arena Munaslub sedikit banyak memang membawa pesan Jokowi. Namun apakah etis jika hal itu dikemukakan secara terbuka oleh Luhut? Untuk menjawabnya kita harus memaklumi Luhut sebagai mantan pejabat militer yang sedikit banyak terpengaruh didikan Soeharto. Salah satu ciri khas pejabat orde baru adalah tidak percaya diri sehingga selalu memakai jubah Cendana. Pola pikir itu ternyata masih dibawa oleh Luhut sehingga dia tidak pede jika tidak menyebut Jokowi ketika melakukan manuver di arena Munaslub.
Tentu saja manuver Luhut membuat Akom meradang. Pertama, sejak awal Luhut terang-terangan menghendaki Setnov yang menjadi ketum Golkar. Kedua, Akom merasa pesan Jokowi- begitu yang disampaikan Luhut, agar ketum Golkar harus bebas dari jabatan lain, juga menyasar dirinya, meski ada calon lain yang juga memegang jabatan politik seperti Syahrul Yasin Limpo- Gubernur Sulawesi Selatan. Ketiga, adanya upaya aklamasi yang jelas-jelas dimaksudkan untuk memenangkan Setnov.