Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cabut Kode Etik DPR!

29 September 2016   09:34 Diperbarui: 29 September 2016   09:48 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bergantunglah pada dahan yang kuat. Bersandarlah pada dinding yang kokoh. Falsafah itu sangat dipahami Setya Novanto dan tahu bagaimana cara mengimplementasikannya. Setelah berhasil merebut kursi Ketua Umum Partai Golkar, Setnov langsung melakukan manuver tak lazim: mendukung Joko Widodo untuk pemilihan presiden 2019 mendatang. Dikatakan tidak lazim karena Presiden Jokowi bukan kader Golkar sementara gelaran pilpres masih tiga tahun lagi. Keheranan publik atas manuver Setnov terjawab setelah isu pergantian ketua DPR bergulir pasca Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) merehabilitasi nama baiknya. MKD menilai rekaman yang dijadikan barang bukti awal dalam persidangan “Papa Minta Saham” tidak sah. Hal itu sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan rekaman elektronik hasil sadapan yang dilakukan tidak atas permintaan aparat penegak hukum bukan barang bukti yang sah. 

Seperti diketahui Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin diam-diam merekam pembicaraan terkait solusi perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PT Freeport dengan Setnov yang kala itu menjabat ketua DPR. Rekaman itu kemudian dibawa ke MKD oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (saat itu) Sudirman Said. Sebelum proses persidangan MKD berakhir, Setnov yang terpojok, memilih mengundurkan diri sehingga MKD menutup persidangan tanpa keputusan apa pun. Bahkan belakangan MKD merasa perlu melakukan rehabilitasi nama baik Setnov. Secara hukum, logika yang dipakai para pengusul agar Setnov kembali memangku jabatan ketua DPR tidaklah salah. Karena yang bersangkutan “terpaksa” mundur akibat kasus “Papa MInta Saham” namun belakangan kasus tersebut tidak memiliki bukti sah, atau dengan bahasa lain Setnov tidak terbukti bersalah karena tidak ada barang bukti, maka wajar jika harkat, martabat dan kedudukannya dikembalikan. Jika harkat dan martabatnya sudah dipulihkan oleh MKD, kini DPR tinggal mengembalikan kedudukan yang sempat ditinggalkannya. 

Sesederhana itukah masalahnya? Benar, secara hukum- terlebih kita menganut azas presumption of innocence, Setnov tidak memiliki kesalahan apa pun. Penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung pun menthok tanpa kejelasan karena gagal menghadirkan “saksi mahkota” yakni mantan bos Petral M. Riza Chalid yang ikut dalam pertemuan antara Maroef Sjamsoeddin dan Setnov. Namun para pengusul kembalinya Setnov ke kursi ketua DPR mungkin abai terhadap hal lain yang juga tidak kalah pentingnya: etika. Sebab meski demi hukum kasus Setnov harus gugur, tetapi dari rangkaian yang tersaji selama proses persidangan di MKD, tidak ada sedikit pun keraguan adanya pertemuan antara Maroef Sjamsoeddin dengan Setnov. 

Tidak juga ada bantahan terkait isi pembicaraan mengenai perpanjangan kontrak karya dan divestasi saham PT Freeport di mana Setnov membawa nama lembaga DPR dan mencatut nama Presiden serta Wakil Presiden dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi dan orang lain. Ataukah memang benar asumsi sebagian besar kalangan jika para politisi tidak memiliki etika? Lalu untuk apa ada kode etik di lembaga-lembaga politik seperti DPR? Jika “rencana” Setnov untuk memangku kembali kursi DPR terwujud- karena kelihaian argumen dan manuver politik nya, sebaiknya kode etik DPR dicabut, terutama Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi : Anggota harus menghindari perilaku tidak pantas atau tidak patut yang dapat merendahkan citra dan kehormatan DPR baik di dalam gedung DPR maupun di luar gedung DPR menurut pandangan etika dan norma yang berlaku dalam masyarakat

Selama hal itu masih tercantum dalam kode etik DPR, kembalinya Setnov ke kursi ketua DPR adalah pengingkaran terhadap aturan yang mereka buat sendiri. 

Bagaimana dengan usul Fraksi PDIP untuk merevisi Undang-undang MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD)? Sama konyolnya dengan keinginan Setnov untuk kembali merengkuh kursi ketua DPR. Meski UU MD3 hasil pengingkaran terhadap mandat rakyat, karena yang menjadi pimpinan dewan bukan berasal dari partai pemenang pemilu, namun meributkannya saat ini jelas tidak produktif. Di samping sudah setengah jalan, saat ini kinerja DPR tengah menjadi sorotan. Tugas-tugas DPR, terutama terkait legislasi, sangat minim. Daripada menghabiskan waktu untuk bersilat lidah demi kepentingan pribadi dan golongannya, akan jauh lebih baik jika DPR memperbaiki kinerjanya. 

Sebagai fraksi besar di DPR, Golkar bisa menjadi salah satu lokomotif ke arah itu. Setnov harus membuktikan dukungannya kepada Presiden Jokowi,bukan hanya dengan pasang gambar dan retorika politik. Dukung kinerja pemerintah melalui aksi nyata, bukan malah menggunakan “kekuatan” Jokowi untuk mengejar ambisi pribadi. 

salam @yb

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun