Basuki Tjahaja Purnama harus menang pilgub dan divonis bebas agar dunia tak mengecam Indonesia. Kesimpulan itu tergambar jelas ketika melihat reaksi dunia, yang terangkum dalam pemberitaan media massa di sejumlah negara terkait hasil pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta 2017 dan vonis hakim terhadap Ahok.
Reaksi dunia atas dua peristiwa tersebut dalam tulisan ini, seluruhnya dikutip dari KOMPAS.com. Dari sekian banyak nada miring menyusul putusan Pengadilan Jakarta Utara terhadap Ahok adalah Amnesti Internasional yang putusan itu bisa merusak reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara toleran. Sementara koran ternama Inggris, The Guardian, menyimpulkan vonis 2 tahun penjara kepada Ahok mengejutkan. Dengan bahasa cukup provokatif, sebagaimana dikutip The Guardian menyebut vonis itu dijatuhkan “setelah kelompok garis keras berhaluan Islam menyerukan pejabat Kristen dipenjara karena merujuk ayat Al-Quran."
Bukan hanya vonis, pasal 156a KUHP yang digunakan untuk menjerat Ahok juga dipersoalkan. Dari PBB hingga Uni Eropa, dari PDIP hingga Setara Institute mendesak agar pasal “penistaan agama” itu dicabut.
Mengapa vonis Ahok membuat dunia internasional heboh? Padahal, sebelumnya menurut Amensti Internasional, “pasal karet” 156a sudah memakan korban sebanyak 108 orang dan semua adem ayem saja.
Agar lebih gamblang, perlu juga disimak reaksi dunia sesaat setelah hasil Pilgub DKI menempatkan pasangan Anies Rasyid Baswedan - Sandiaga Salahuddin Uno mengalahkan pasangan Ahok – Djarot Saiful Hidayat. Bahkan kantor berita Associated Presse menulis, polarisasi masyarakat selama kampanye “merusak reputasi Indonesia yang menganut bentuk Islam moderat”.
Seakan ingin membenarkan sorotan dunia, di sejumlah daerah di Indonesia yang mayoritas masyarakatnya non Muslim seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, terjadi aksi keprihatinan atas vonis Ahok. Aksi ini melengkapi keprihatinan serupa saat Ahok-Djarot dinyatakan kalah dalam pilgub, yang diekspresikan melalui ribuan karangan bunga dan tebaran balon di Balai Kota Jakarta.
PDIP yang katanya selalu berada di garda depan dalam menjaga Pancasila, pun berniat menghapus pasal 156a- yang merupakan implementasi Sila Pertama Pancasila, sehingga kelak setiap orang Indonesia bebas menista keyakinan dan isi kitab suci orang lain sebagai pengejahwantahan demokrasi liberal sejati. Mungkin PDIP merasa Pancasila “tidak sakti” lagi ingin menggantinya dengan burung gagak atau naga merah moncong putih.
Semua tanggapan dan aksi tersebut di atas seolah untuk menegaskan sebuah pesan: betapa bodohnya masyarakat (Muslim) Jakarta karena tidak memilih Ahok yang baik dan pekerja keras, serta betapa intolerannya masyarakat (Muslim) Jakarta. yang kemarin memilih Anies- Sandiaga.
Kaum pintar, toleran dan pendekar demokrasi itu mungkin tengah lupa, salah satu kemenangan Donald Trump pada Pilpres AS lalu karena akan mengharamkan wilayah paling demokratis di dunia itu dipijak kaum Muslim. Mengapa Donald Trump dengan ide-ide rasisnya menang? Karena masyarakat Amerika adalah masyarakat terdidik yang sangat toleran.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H