Kompasiana semakin menegaskan jati dirinya sebagai blog terbesar. Bukan hanya mengubah logo dan tagline agar lebih “muda”, namun juga memberi ruang bagi penghuninya untuk berinteraksi secara lebih luas dan mendapatkan imbalan dari jerih payahnya. Tidak berlebihan jika Kompasiana kelak menjelma menjadi wadah penyaluran hobi sekaligus jembatan mendulang pendapatan.
Apa yang didapat dari Kompasiana? Cuma buang-buang waktu. Tuduhan Kompasianer tidak lebih dari buzzer bayaran, juga sudah sering diterima, terutama bagi Kompasianer yang aktif menulis di kanal politik seperti saya. Meski dalam batasan tertentu masih bisa saya abaikan, tetapi tidak dipungkiri tudingan itu terkadang menganggu juga. Sudah cape ngetik, tidak dapat apa-apa, eh, malah dituduh “melacur”. Tetapai tudingan itu belum sesakit manakala tulisan kita malah menjadi korban moderasi sistem yang tengah dilakukan Kompasiana. Saya sampai sempat vakum beberapa saat dari Kompasiana karena hal semacam itu.
Tetapi itu masa lalu. Selalu ada hikmah di balik kesusahan, kata Bung Nurulloh yang tidak sempat diucapkan ketika memberikan penjelasan terkait kondisi Kompasiana saat ini.
“Sepanjang 8 tahun usia Kompasiana, 6 tahun di antaranya saya disibukkan dengan komplain dari Kompasianers,” candanya saat peluncuran logo baru Kompasiana di Ruang Ruby Gedung Kompas Gramedia Palmerah Jakarta, Kamis (23/2).
Kompasiana tidak berhenti pada keluh-kesah. Para punggawa Kompasiana terus berbenah untuk menggapai cita-cita menjadi blog terbesar di Asia Tenggara sebagaimana disampaikan Direktur Kompas Gramedia Group of Digital Andy Budiman. Selain mengganti logo lama dengan logo baru yang lebih dinamis, serta mengubah tagline Sharing. Connecting menjadi Beyond Bogging, Kompasiana juga akan memiliki tampilan dengan seabreg fitur baru. Sayangnya Kriko harus tersisih karena tulisan "Kompasiana" telah menjadi logo itu sendiri.
“Mulai Juni 2017, seluruh proses perubahan itu selesai,” tegas Andy Budiman.
Salah satu terobosan Kompasiana yang paling layak ditunggu adalah program affiliation antara Kompasiner dengan pihak ketiga. Dengan program ini, maka sangat terbuka kemungkinan Kompasianer akan mendapat bayaran dari pihak ketiga. Padahal saat ini saja Kompasiana sudah menyediakan "gaji bulanan" untuk tulisan dengan kategori tertentu.
“Jika selama ini “kerjasama” antara Kompasiner dengan pihak ketiga mungkin dilakukan secara sembunyi-sembunyi, hanya tahu sama tahu, maka ke depan kita justru memfasilitasinya,” ujar COO Kompasiana, Iskandar Zulkarnaen.
Bayaran dari pihak ketiga bisa berupa pembelian karya (tentu tanpa hak ciptanya), bisa juga dihitung berdasarkan page views yang tercatat di Google Analytics. Cara terakhir tentu memanjakan Kompasianer yang memiliki banyak follower.
Hanya itu? Masih banyak lagi program yang akan mendatangkan uang bagi Kompasianer. Tunggu saja peluncuran wajah baru Kompasiana Juni mendatang.
Satu-satunya kelemahan- jika boleh disebut demikian, mungkin adanya halaman “terpisah” yang dikelola sendiri oleh grup pada laman Kompasiana mendatang. Kompasiana menyediakan halaman untuk grup bersangkutan tanpa turut campur dalam pengelolaannya. Di sini pengurus grup yang akan menentukan “nasib” tulisan anggotanya apakah akan diberi label (semisal headline) atau “dibuang”. Bagi anggota grup yang tidak memiliki kedekatan personal dengan pengurus, tentu akan berpikir dua kali ketika akan mem-publish tulisannya. Halaman ini juga berpotensi “sunyi” karena hanya akan dikunjungi oleh anggotanya saja. Padahal dari beberapa grup atau komunitas di Kompasiana yang saat ini eksis, jumlah anggotanya masih sangat minim.