Atmosfir politik terus memanas usai gelaran Simposium 1965 bertajuk “Membedah Tragedi 1965 dari Aspek Kesejarahan” 18-19 April lalu di Hotel Aryadhuta Jakarta Pusat. Isu bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) terdengar semakin nyaring. Terlebih setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan membongkar kuburan massal terduga korban Geger 65 usai meletusnya peristiwa yang kemudian dikenal dengan nama Gerakan 30 September/PKI.
Dalam beberapa hari terakhir, secara misterius marak penampakan atribut bergambar palu arit di tengah masyarakat. Tentara pun bergerak dan mendapat 'izin' Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, untuk ikut menangkap masyarakat yang kedapatan memakai, menjual, menyebarkan atribut PKI tersebut.
Siapa yang menyebarkan atribut itu? Apakah benar ada operasi rahasia dengan tujuan untuk membenarkan klaim bangkitnya paham komunis di Indonesia? Sebab secara nalar sehat, jika benar ada gerakan untuk membangkitkan kembali paham itu, mestinya saat ini mereka tiarap karena tengah mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Untuk apa muncul kalau hanya untuk ditangkap?
Andai pun menggunakan pendekatan teori terbalik, mereka sengaja muncul untuk test case sekaligus mencari simpati mumpung sedang panas, juga tidak tepat karena mengganggu agenda pemerintah untuk menuntaskan luka lama terkait Geger 65. Bukankah mereka yang selama ini menyerukan adanya kebangkitan komunis di Indonesia menuding PKI berada di balik gelaran Simposium 65 yang ditindaklanjuti dengan upaya pembongkaran kuburan terduga korban Geger 65? Logikanya, jika sudah berhasil menekan pemerintah untuk membuka peristiwa 65, mengapa mereka yang dituduh pengikut komunis itu masih perlu memanaskan suasana dengan atribut-atribut yang justru akan semakin menyudutkan dirinya?
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa purnawirawan TNI dan ormas-ormas lainnya begitu ketakutan terhadap upaya pembongkaran makam yang diduga korban Geger 65? Jika mengacu pada statemen Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, pihaknya kuatir pembongkaran kuburan itu akan menimbulkan keributan di tengah masyarakat.
“Saya sebagai Menhan tentunya menginginkan negara ini tidak ada ribut-ribut, damai," tutur Ryamizard seperti dikutip di sini
Apa hubungannya pembongkaran kuburan massal yang diduga korban Geger 65 dengan ribu-ribut? Siapa yang meributkan? Bukankah yang meributkan justru para purnawirawan itu sendiri? Andai semua pihak dapat menahan diri, mengikuti arahan Presiden Joko Widodo, mungkinkah akan terjadi keributan?
Tidak salah jika kita menduga ada pihak-pihak yang memanfaatkan keinginan pemerintah untuk menuntaskan berbagai dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tidak berlebihan jika kita mewaspadai tumbuhnya gerakan kiri yang tidak sesuai dengan Pancasila. Tidak ada larangan untuk mencermati pihak-pihak yang berusaha menunggangi upaya rekonsiliasi yang digagas Presiden Jokowi untuk tujuan-tujuan politik seperti mendiskreditkan tentara dan ormas lainnya dalam Geger 65.
Namun semua pihak, terutama anggota kabinet, harus tetap dalam koridor dan semangat mengamankan amanat Presiden. Apa yang akan terjadi jika seorang Menhan berani menentang kebijakan Presiden secara terbuka dan mengakomodir pihak-pihak yang menghujat pemerintah? Bagaimana Menhan bisa tetap rileks ketika ada anggota masyarakat menghujat pejabat pemerintah dengan tuduhan memiliki riwayat yang tidak jelas?
Mari kita simak pernyataan Ketua DPP Purnawirawan Letnan Jenderal (Purn) Suryadi saat menghadiri acara Silaturahmi Purnawirawan TNI/Polri serta Organisasi Masyarakat Keagamaan dan Kepemudaan di Balai Kartini, Jakarta, Jumat, 13 Mei 2016, “Gubernur Lemhanas siapa sih dia? Dari mana asal usulnya? Siapa sih yang tahu Menteri Susi itu siapa? Ada yang tahu? Anaknya siapa? Bapaknya siapa?” kata Suryadi seperti dikuti di sini
Gubernur Lemhanas yang dimaksud Suryadi adalah Letnan Jenderal Purnawirawan Agus Widjojo yang kebetulan Ketua Pengarah Simposium Nasional Tragedi 1965. Sementara Menteri Susi adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.