Konstelasi politik di Jakarta bergerak secara dinamis. Tidak ada lagi calon dominan. Berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, kekuatan ketiga pasangan calon cenderung merata. Hal itu juga ditandai dengan bergesernya pola serangan antar kandidat. Jika sebelumnya pasangan petahana dijadikan musuh bersama, kini pasangan penantang justru mulai menyerang pasangan penantang lainnya.
Lembaga-lembaga survei seperti Indikator, Poltracking dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menempatkan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni di posisi pertama. Sementara pasangan Basuki Tjahaja Purnama – Djarot Saiful Hidayat bergantian posisi dengan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Meski dalam survei LSI Denny JA pasangan Anies - Sandiaga menempati posisi pertama dalam survei yang dilakukan dengan pertanyaan terbuka, namun elektabilitasnya kalah dibanding Agus-Sylvi pada pertanyaan tertutup.
Meski presisinya masih bisa diperdebatkan, namun hasil survei tetap menjadi perhatian para kandidat yang tengah berebut kursi DKI 1 dan DKI 2. Ada yang menggunakannya sebagai motivasi untuk mengejar ketertingalan, ada juga yang menjadikan dasar analisa strategi dan pola kampanye. Hal itu tercermin dari serangan yang tiba-tiba dilancarkan Anies Baswedan terhadap Agus Yudhoyono.
Menurut Anies depan pengurus RT/RW se-Jakarta Utara, memilih pemimpin jangan yang tidak dikenal. “Yang satu Basuki kenal? Satu lagi Anies, kenalkan. Lalu, siapa Agus ? Apa yang pernah diberikan pada warga Jakarta, berapa staf yang pernah dipimpinnya,” serang Anies di sini.
Padahal selama ini Anies dan Sandiaga Uno cenderung mengkritisi berbagai kebijakan Ahok selama menjadi Gubernur DKI. Anies menyerang Ahok dari sungai bersih sampai Kartu Jakarta Pintar (KJP). Ahok pun kerap menyerang pasangan tersebut, terutama Sandiaga Uno. Jika ditarik ke belakang, saling serang antar kedua pasangan ini bahkan sudah terjadi jauh sebelum penetapan pasangan calon oleh KPU.
Sementara pasangan Agus – Sylvi tidak pernah diserang maupun menyerang. Pasangan yang diusung Koalisi Cikeas ini asyik “berjoget” dengan dirinya sendiri. Seolah tidak peduli dengan panasnya situasi, Agus lebih memilih beratraksi lompat dari atas panggung, terjun ke laut sampai berjoget diiringi suara istrinya, Anissa Pohan.
Ada alasan mengapa lawan-lawannya enggan menyerang pasangan Agus-Sylvi. Salah satu yang utama tentu terkait elektabilitas. Pasangan “karbitan” ini diyakini tidak mampu berbuat banyak karena masih terlalu hijau di politik. Sampai seminggu sebelum pendaftaran di KPU, Agus masih sibuk di militer, sementara Sylvi di Balaikota sebagai birokrat tulen. Asumsi itu mendekati kebenarannya karena sebelum Ahok berstatus tersangka dugaan penistaan agama, elektabilitas keduanya selalu di posisi buncit.
Namun semua berubah pasca 16 November. Keputusan Bareskrim Mabes Polri terkait status Ahok, sontak mengubah konstelasi politik di Jakarta. Perlahan namun pasti, elektabilitas Agus-Sylvi merangkak. Survei Indikator, Poltracking dan LSI membuka kesadaran Anies-Ahok betapa perseteruan di antara mereka telah dimanfaatkan dengan baik Agus. Anies yang selama ini dipersepsikan didukung kelompok Islam miitan- terlebih karena Buni Yani yang ikut menyebarkan potongan pidato Ahok di Kepulauan Seribu disertai caption yang bernada provokatif, sempat dikaitkan dengan Anies sehingga menjadi sasaran tembak pendukung Ahok, segera mengubah pola serangan.
Ungkapan Agus itu siapa, berapa staf yang pernah dipimpin, apa yang telah diberikan untuk warga Jakarta, akan menjadi peluru awal yang ditembakkan. Anies pun dengan semangat mematahkan janji Agus terkait bantuan Rp 1 miliar per RW karena sudah ada di APBD.
Akankah Agus membalas serangan Anies? Jika berkaca pada “gaya” politik ayahnya, Susilo Bambang Yudhoyono, dipastikan Agus tidak akan membalas. Agus justru akan membiarkan dirinya diserang. Mengapa? Pertama untuk mendapatkan kesan dirinya teraniaya sehingga mengundang simpatik massa. Kedua, jika pun pola semacam itu sudah tidak laku, masyarakat tidak lagi terpengaruh dengan politik melodrama, Agus tetap akan dipilih oleh mereka yang menilai Anies “jahat” karena terus menyerang orang yang tidak melawan.
Situasi ini sebenarnya menjadi peluang bagi pasangan Ahok-Djarot untuk meraih kembali simpati yang tergerus. Bukan mengubah sikap dan cara bicaranya karena hal itu sudah menjadi trade mark dan terbukti disukai oleh sebagian orang, namun dengan menghindari konfrontasi langsung dengan kedua calon yang kini elektabiliatsnya, menurut lembaga-lembaga survei, berada di atasnya. Ahok bisa mendulang suara dari kelompok masyarakat yang kecewa dengan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu tetapi menganggap persoalan itu sudah selesai setelah Ahok meminta maaf. Terlebih proses hukum juga sudah berjalan.