Isu pemakzulan Presiden Joko Widodo tiba-tiba muncul dan menjadi topik panas menggeser isu-isu lainnya. Karena syahwat politik sekelompok orang yang ingin merusak demokrasi, pengalihan isu, atau playing victim?
Jika melihat sosok yang mengusulkan kepada Menko Polhukam Mahfud MD, yakni anggota Petisi 100, rasanya bukan kelompok a-history yang tidak paham peraturan perundang-undangan di mana proses impeachment terhadap presiden bukan saja rumit, namun nyaris mustahil.
Di samping membutuhkan proses politik di DPR, juga harus ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mendukung alasan pemakzulan. Setelah itu baru dibawa ke sidang paripurna MPR yang harus dihadiri sekurang-kurangannya 3/4 anggota.
Padahal masa tugas Presiden Joko Widodo tinggal kurang dari 10 bulan. Jika pun yang dijadikan alasan kekhawatiran adanya penyalahgunaan lembaga kepresidenan untuk mendukung salah satu pasangan calon (paslon) peserta Pilpres 2024, waktunya tidak cukup karena pencoblosan dilaksanakan 14 Februari 2024, kurang dari 2 bulan saat aspirasi itu pertama kali didengungkan Mahfud MD.
Kita justru curiga, isu pemakzulan bukan an sich untuk menjatuhkan Presiden Jokowi. Sebab berdasar tata cara pemakzulan sebagaimana diatur pada Pasal 7A dan 7B UUD 1945, presiden atau wakil presiden dapat dimakzulkan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana erat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
Â
Oleh karenanya alasan agar Pemilu 2024 tanpa Jokowi tidak sesuai syarat impeachment seperti yang termaktub dalam UUD 1945.  Â
Ketidakseriusan para pelontar pemakzulan semakin kentara ketika mereka justru mendatangi Menko Polhukam, bukan DPR. Padahal Mahfud MD, sekalipun juga cawapres yang berpasangan dengan capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo, masih berstatus sebagai pembantu presiden.
Jika pun tujuannya menjadikan Mahfud sebagai lokomotif pemakzulan, jelas jauh panggang dari api. Mahfud tidak memiliki DNA sebagai pembelot, sekalipun sosok yang didukung tidak lagi ideal dan melakukan pelanggaran ketatanegaraan.
Lalu apa motif sebenarnya di balik dengungan pemakzulan? Ada tiga kemungkinan dan semuanya terkait dengan strategi untuk meraih kemenangan dalam kontestasi elektoral yang tengah berlangsung. Â
Pertama, motif elektoral. Pihak-pihak yang menggiring opini pemakzulan ingin meraih keuntungan elektoral baik untuk paslon presiden dan wakil presiden maupun partai politik peserta Pemilu 2024.
Kedua, mengalihkan isu-isu seputar debat capres yang sempat memanas. Seperti diketahui usai babak-belur dalam debat, capres nomor urut 2 Prabowo Subianto banyak membuat pernyataan emosional. Salah satunya memaki capres nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan dengan kata-kata yang berpotensi menjadi pelanggaran pemilu. Â