Debat calon presiden (capres) putaran ketiga dengan tema pertahanan, keamanan dan hubungan internasional, yang digelar di Istora Senayan, Minggu (7/1/24), berlangsung cukup panas dan menarik.
Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto yang awalnya digadang-gadang bisa dengan mudah memenangkan debat mengingat latar belakangnya sebagai Menteri Pertahanan, justru kembali terpancing emosinya sehingga paparannya sering tidak sesuai dengan tema.
Tercatat, capres nomor urut 1 Anies Rasyid Baswedan dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo beberapa kali mengkritik penjelasan Prabowo yang dianggap "tidak nyambung". Anies mengkritik penjelasan Prabowo soal kerja sama Selatan-Selatan, sedang Ganjar merasa tidak mendapat jawaban terkait penyebab penurunan peringkat Indonesia di Global Peace Index.
Mungkin karena terpojok, Prabowo sampai slip of tongue ketika menyebut omon-omon, padahal maksudnya omong-omong. Ungkapan itu untuk menyerang balik Anies di mana menurut Prabowo Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang pandai bicara.
Prabowo mungkin lupa, kemampuan berbicara secara runut dan jelas, ketika menjabarkan sikap politik, pemikiran dan gagasan, adalah bukti intelektualitas, keluasan pengetahuan, dan penguasaan atas tema yang dibahas.
Kecakapan berpikir dan kemampuan menjabarkan dengan bahasa yang baik dan mudah dimengerti, diperlukan bagi seorang pemimpin. Sebab Indonesia harus kembali ke kancah internasional dan memenangkan pertarungan terkait isu-isu yang menguntungkan.
Satu hal yang perlu diingat, banyak keuntungan dan kemenangan yang dicapai Indonesia di forum internasional berkat kemampuan diplomasi, kemampuan orasi para diplomat dalam menjabarkan kehendak dan tujuan Indonesia.
Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh negara-negara di dunia tidak terlepas dari diplomasi luar biasa yang dilakukan Haji Agus Salim, AR Baswedan, dll.
Hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda pada 1949, yang mengembalikan kedaulatan Indonesia tidak terlepas dari kelihaian diplomasi Mohammad Roem, Johannes Leimena, Ali Sastroamidjojo, hingga Sumitro Djojohadikusumo.
Demikian juga terwujudnya NKRI dengan luas lautan yang dimiliki Indonesia, berkat diplomasi luar negeri Indonesia yang luar biasa sehingga Deklarasi Djuanda 1957 yang memuat tentang batas teritorial laut Indonesia diakui sebagai konvensi hukum laut (UNCLOS) PBB 1982.