Berkat kemampuan diplomasi Menteri Luar Negeri (waktu itu) Mochtar Kusumaatmadja, wilayah perairan dan kepulauan Indonesia diakui oleh negara-negara lain.
Kita memenangkan pertarungan di atas tanpa kekuatan senjata, tanpa alat utama sistem persenjataan (alutsista) canggih.
Indonesia pernah cukup disegani bukan karena kemampuan militernya, tetapi kepiawaian Presiden Soekarno dalam berorasi dan diplomasi. Konferensi Asia Afrika yang menjadi dasar kerjasama Selatan-Selatan tidak akan terwujud tanpa kemampuan diplomasi Bung Karno.
Demikian juga saat Presiden Soeharto berkuasa di mana kita mengenal diplomat-diplomat tangguh di bawah kepemimpinan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Pak Harto tidak segan-segan berpidato di Sidang Umum PBB untuk menegaskan posisi Indonesia. Sesuatu tidak pernah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Di era sekarang, di mana pertempuran tidak lagi semata mengandalkan kekuatan persenjataan konvensional, maka diplomasi menjadi sangat penting. Presiden selaku panglima tertinggi dalam sistem pertahanan Indonesia, harus bisa memimpin para diplomatnya untuk memenangkan diplomasi di fora internasional.
Bukan hanya datang ke acara-acara pertemuan internasional untuk selfie dengan pemimpin negara lain tanpa membawa gagasan dan ide.
Terlebih, Indonesia menganut politik bebas aktif sehingga kemungkinan terjadinya konfrontasi dengan negara lain, sangat kecil. Bukan berarti tidak membutuhkan persenjataan konvensional seperti pesawat, tank dan kapal perang, namun porsinya mulai diubah.
Sebab saat ini serangan negara lain ke wilayah Indonesia beragam bentuknya. Salah satunya serangan melalui internet dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Pertahanan tidak lagi soal batas wilayah agar tidak dicaplok negara lain, namun juga perlindungan mental generasi muda agar tidak menjadi korban perjudian online, narkoba, pornografi dan kejahatan digital (cyber crime) seperti phising.
Dalam kaitan ini, maka membeli persenjataan konvensional bekas melalui skema utang, sungguh-sungguh tidak rasional. Barang bekas tetaplah barang bekas, tidak terkait masa pakai. Negara lain menjualnya karena mungkin teknologinya sudah ketinggalan zaman, atau sudah ada persenjataan yang lebih canggih.
Artinya, membeli alutsista bekas tidak serta merta meningkatkan sistem pertahanan kita, apalagi berharap agar disegani negara lain, karena faktanya negara lain sudah memiliki persenjataan yang lebih canggih.
Kita berharap pemimpin mendatang memiliki paradigma pertahanan yang lebih smart dengan mengutamakan diplomasi, melalui perang kata-kata di meja perundingan, di arena diplomasi, bukan dengan bedil dan meriam.