TIDAK elok bagi penulis prosa memberikan penjelasan tentang isi dan pesan yang disampaikan dalam karyanya. Hal ini selaras dengan pemahaman bahwa karya prosa (baca: novel sastra) memiliki ragam tafsir. Dia tidak tunggal karena bukan berita, atau informasi mengenai suatu peristiwa. Pembaca karya sastra dapat menafsirkan sesuai dengan latar belakang keilmuan, pengalaman hidup, lingkungan sosial dan suasana hatinya. Oleh karenanya, sangat wajar ketika karya sastra dibaca oleh sepuluh orang akan melahirkan sepuluh, bahkan sebelas, penafsiran.
Karya fiksi adalah gambaran universal, sebisa mungkin melampaui ruang dan waktu. Pada novel KELIR, saya hanya membahas tentang budaya Jawa, sejarah, intrik politik dan pergulatan batin tokoh-tokohnya yang boleh jadi representasi penulisnya. Tetapi kondisi serupa mungkin saja terjadi pada budaya lain. Artinya KELIR dapat juga digunakan sebagai landasan atau perbandingan untuk memotret kondisi sosial budaya di tempat berbeda.
Demikian juga dalam novel PRASA: Operasi Tanpa Nama. Peristiwa penggusuran pemukiman untuk kepentingan industri, tidak hanya terjadi di masa lampau, namun juga hari ini dan mungkin di masa mendatang.
Ide novel PRASA: Operasi Tanpa Nama terpantik secara tidak sengaja. Perdebatan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) selalu mengemuka menjelang kontestasi elektoral, terutama pemilihan presiden dan wakil presiden seperti sekarang ini. Saya sering kecewa karena isu pelanggaran HAM dalam konteks politik hanya sebatas buih yang hilang begitu saja manakala kepentingan politik si peniup terompet sudah tercapai. Â
Padahal pembahasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, sebut saja G30S/PKI, Malari, Tanjung Priok, Talangsari, penculikan aktivis pro demokrasi pra 1998, Tragedi Semanggi I dan II, akan mengingatkan dan sangat mungkin membuka luka batin para korban dan keluarganya.
Agar hal itu tidak terus berulang, idealmya peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dibuka dan dituntaskan secara hukum sehingga perjalanan bangsa kita ke depan tidak dibebani utang penuntasan sejarah kelam. Siapa pun yang terlibat harus dimintai pertanggung-jawaban dengan tujuan memberikan efek jera pada pelakunya dan mencegah peristiwa serupa terulang di masa mendatang.
Tetapi tidak mudah untuk mencapai konsensus itu karena pihak-phak yang diduga terlibat, melakukan perlawanan balik. Bahkan sampai hari ini belum ada data sahih terkait jumlah korban dari peristiwa-peristiwa tersebut karena banyaknya kepentingan di luar penegakkan hukum yang ikut, bahkan mendominasi, ruang-ruang investigasi dan dialog sehingga kebenaran menjadi begitu menakutkan, serupa kotak pandora. Â
Melihat kekusutannya, lalu timbul pertanyaan, apakah peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu sebaiknya kita maafkan dan lupakan? Melalui PRASA: Operasi Tanpa Nama, saya mencoba mengajak pembaca untuk merenungkan atas pilihan-pilihan yang tersedia, tanpa mengesampingkan kemungkinan munculnya tafsir berbeda yang akan semakin memperkaya diskursus tentang persoalan ini melalui karya fiksi.
Karena begitu banyak data yang harus dihimpun dengan hati-hati, saya memilih menuangkannya sebagai dongeng. Tentang anak dari suku pedalaman yang menjadi korban alih fungsi hutan untuk ladang sawit. Seperti kita ketahui, hutan bukan hanya tempat pepohonan tumbuh, bukan hanya tempat satwa bermukim. Hutan juga adalah rumah bagi banyak suku bangsa. Ketika hutan-hutan dibabat atas nama pembangunan dan kepentingan ekonomi, ke mana mereka pergi? Pertanyaan yang masih relevan dikemukakan di tengah ingar-bingar pembangunan yang mendewakan pemilik modal, seraya mempariakan mereka yang tidak memiliki akses pada kekuasaan. Â