PARTAI Demokrat dalam semangat menggebu untuk menciptakan koalisi keempat ketika keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Namun setelah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memutuskan tetap bergabung dengan KPP yang mengusung Anies Rasyid Baswedan - Muhaimin Iskandar (AMIN), wacana koalisi langsung nyungsep.
Pasalnya, wacana koalisi keempat berisi Partai Demokrat, PKS, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) atau Partai Amanat Nasional (PAN). Jika Demokrat berhasil merayu PKS, diyakini tidak sulit mengeluarkan PPP dari koalisi pimpinan PDI Perjuangan.
Menarik PPP dari koalisi dengan PDIP sangat memungkinkan karena sebagian pengurusnya ingin mendorong Sandiaga Uno menjadi cawapres. Hal yang semakin mustahil karena sejatinya PPP tidak memiliki daya tawar (bargaining position) yang kuat. Sebaliknya, bergabung dengan Demokrat dan PKS membuat posisi tawarnya sangat kuat. Â Â
Jika pun PPP menolak, masih ada opsi lain, yakni PAN. Celah itu terbuka jika Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang dipimpin Partai Gerindra dengan bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto tidak mengakomodasi aspirasi PAN yang mengajukan Erick Thohir sebagai cawapres. Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono bisa menggunakan berbagi saluran untuk mendekati PAN, termasuk jalur keluarga.
Namun dengan telah diputuskannya dukungan PKS, otomatis wacana koalisi keempat mustahil terbentuk. Meski masih dapat memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), koalisi Demokrat, PPP, dan PAN, sangat terjal dan membutuhkan "pelumas" luar biasa.Â
Terlebih bagi PPP yang membutuhkan cantolan agar dapat terhindar dari posisi juru kunci di DPR, apalagi masuk grup partai nol koma. Menempel pada capres populer adalah solusi paling logis untuk saat ini.
Sebab jika pun dipaksakan, peluang untuk memenangkan Pilpres 2024 bagi koalisi Demokrat, PAN, dan PPP, sangat kecil, setipis embun pagi. Penyebab utamanya tentu karena ketiadaan tokoh yang layak diusung jika dibandingkan dengan tiga bakal capres yang sudah ada. Â
Memasang Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Sandiaga Uno atau Erick Thohir bukan keputusan cerdas, kecuali pencalonannya dimaksudkan sekadar menambah daftar pengalaman dalam curriculum vitae.
Beda hal jika di dalamnya ada PKS yang dikenal memiliki pendukung militan dan fanatik. Mereka tidak akan keluar dari garis partai yang diinstruksikan Majelis Syuro. Sementara tidak ada jaminan pendukung Demokrat, PPP, dan PAN memilih capres-cawapres yang diusung partainya.
Oleh karenanya, langkah paling realitis bagi Demokrat saat ini adalah bergabung dengan koalisi yang sudah ada. Tidak bisa netral karena berpotensi mendapat sanksi berupa larangan mengikuti pemilu berikutnya sebagaimana dimaksud Pasal 235 Ayat 5 UU Nomor 7 Tahun 2023 tentang Pemilu.