Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrat dan Drama yang Terus Berulang

11 September 2023   06:17 Diperbarui: 11 September 2023   07:02 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Foto: Antara via Kompas.com 

Demikian juga PPP yang saat ini sudah  bergabung dengan PDIP untuk mengusung Ganjar Pranowo. Sekali pun PDIP tidak mengambil cawapres dari PPP, sulit bagi partai berlambang Kabah itu untuk menerima tawaran Demokrat. Alasannya sederhana, PPP membutuhkan "cantolan" koalisi yang kuat demi mengamankan eksistensinya karena banyak yang memprediksi tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Pemilu 2024.

Di sisi lain, upaya merapat kepada PDIP, dan juga Gerindra, akan mengecewakan kader-kader di bawah yang selama ini menyeru tagline perubahan dan bersikap oposan terhadap pemerintah. Tidak hanya kepada Presiden Joko Widodo, tetapi juga partainya.  

Mungkin tidak terlalu sulit manakala elit politik yang sebelumnya berseberangan lalu ngopi bareng sambil merundingkan bagi-bagi kekuasaan. Tertawa riang menceritakan gesekan sebelumnya yang kini dianggap lelucon.  

Namun tidak demikian dengan kader dan simpatisan di level akar rumput (grass root). Mereka sudah terlibat dalam perdebatan panjang dan (kadang) menyakitkan hingga berbuah "dendam pribadi". Tidak mudah bagi mereka untuk berbalik menjadi pendukung pihak-pihak yang telah membuatnya sakit hati.

Lebih lucu lagi, sekedar tidak menyebutnya ngenes, jika sampai Demokrat bergabung dengan koalisi PDIP atau pun Gerindra, tanpa mendapat jatah cawapres. Hanya karena antipati dengan KPP dan Anies, lantas mengorbankan aspirasi pendukungnya tanpa imbalan apa pun.

Atau jangan-jangan Demokrat akan mengambil sikap seperti pada Pilpres 2019, mendukung salah satu capres selain Anies, tetapi membebaskan kader dan pendukungnya untuk memilih capres lain, termasuk Anies? Jika hal itu yang terjadi, maka sebaiknya Demokrat belajar pada PKB.

Bukan karena saat ini PKB lebih besar (58 kursi DPR) dari Demokrat (54 kursi DPR), tapi cara berpolitik Cak Imin sangat lugas. Sejak awal sudah mendeklarasikan diri sebagai capres, minimal cawapres.

Ketika teman di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yakni Partai Gerindra, menggandeng partai lain (Golkar dan PAN)  dan mengubah nama koalisi menjadi KIM tanpa melibatkan PKB, Cak Imin hengkang zonder drama demi tercapai tujuan politiknya.

Ke depan, sebelum membangun koalisi dengan partai lain, sebaiknya Demokrat mematok target yang jelas dan terbuka agar kejadian memilukan di Pilpres 2019 dan (mungkin) Pilpres 2024, tidak terulang.

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun