Tidak ada angin, tidak ada guruh, PDI Perjuangan membuat manuver politik yang mencengangkan ketika menyebut Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) termasuk bakal calon wakil presiden (bacawapres) yang sedang dipertimbangkan untuk mendampingi bacapres Ganjar Pranowo. Pernyataan itu disusul dengan rencana Ketua DPP PDIP Puan Maharani menemui AHY.
Menurut Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, partainya ingin mewujud semangat persatuan dan kesatuan. Tentu kita mendukung upaya PDIP menjalin hubungan antarpartai dengan semangat kebersamaan untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara seperti dikatakan Hasto.
Oleh karenanya kita berharap pertemuan antara petinggi PDI dan Demokrat disertai dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Sebab jika benar pertemuan tersebut dalam semangat gotong royong dan persatuan, tentu juga dapat menjadi ajang untuk mendamaikan "perseteruan abadi" antara Megawati dengan SBY.
Terlebih keduanya masih menjadi penentu arah partai masing-masing. Kurang elok jika koar-koar tentang pentingnya persatuan antar elit politik tanpa "menjernihkan" hubungan sesama mantan presiden yang selama ini "keruh".
Lalu, apakah manuver PDIP salah? Tentu tidak, karena tidak melanggar aturan atau hukum apa pun. Setiap partai politik berhak melakukan lobi-lobi dan kerjasama untuk memenangkan kontestasi politik seperti Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Persoalan menjadi berbeda jika tujuan utama dari manuver PDIP didasari keinginan "merusak" kubu lawan. Meski hal itu tidak melanggar hukum dan masih dalam koridor demokrasi, tetapi jelas tidak etis.
Sebab dalam berpolitik pun ada fatsun dan etika sebagai bagian dari budaya leluhur sebagaimana gotong-royong. Sikap saling menghargai telah menjadi bahasa universal dalam rimba politik, kecuali bagi Makiavelis. Tentu, kita percaya, dalam berpolitik kader-kader PDIP tidak menjadi pengikut paham Niccolo Machiavelli.
Terlepas dari sisi kepatutan dan etika politik, manuver PDIP juga membuka fakta lain yang sangat menarik. Adalah ucapan Hasto yang menempatkan AHY sebagai figur sentral dalam konstelasi dan peta politik ke depan.
Mari kita simak ucapan lengkap Hasto yang dikutip utuh dari kompas.com, "PDI Perjuangan itu merangkul, sambil menunggu, toh lamaran dari Pak Anies Baswedan ke Demokrat belum turun. Maka, enggak ada salahnya berdialog." Â
Dari statemennya, Hasto ingin membenarkan manuver politik PDIP karena sampai saat ini Anies belum menetapkan AHY sebagai bacawapresnya.
Padahal Partai Demokrat telah mendeklarasikan dukungan kepada Anies Rasyid Baswedan bersama Partai Nasdem dan PKS dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Ketiga partai tersebut juga menyerahkan kepada Anies untuk memilih bacawapres.
Munculnya keinginan Demokrat memasang AHY sebagai bacapres, seperti disuarakan sejumlah kadernya, tidak berarti ada perpecahan dalam KPP. Bukankah PKS dan Nasdem juga mengajukan jagoannya? Kondisi demikian sangat wajar seperti halnya PPP yang menawarkan Sandiaga Uno kepada PDIP.
Oleh karenanya, frasa "lamaran Anies ke Demokrat belum turun" tidak tepat. PDIP justru terkesan sedang "memaksa" Anies untuk mengambil AHY sebagai bacapres. PDIP seolah tengah menaikkan posisi tawar AHY di depan Anies dan partai anggota KPP. Jika Anies mengambil AHY sebagai bacawapres, maka PDIP tidak akan "mengganggu" lagi.
Tidak mengherankan jika saat ini sejumlah kader Demokrat mendesak agar Anies segera mendeklarasikan bacawapres sehingga berkembang asumsi, manakala bukan AHY yang dipilih, partai berlambang mercy itu akan "kabur" dari KPP.
Pertanyaan kita, mengapa PDIP mendorong AHY sebagai bacawapres Anies? Untuk menjawabnya kita harus melihat lanskap politik dalam beberapa bulan terakhir.
Meski hampir semua lembaga survei selalu menempatkan elektabilitas Ganjar di posisi tertinggi, fakta sebaliknya sulit ditutupi. Bahkan sekelas Presiden Joko Widodo saja ragu Ganjar akan bisa menang melawan Anies jika hanya didukung PDIP, PPP dan sejumlah partai gurem.
Kondisi ini sesuai dengan fakta bahwa hasil survei tidak pernah menggambarkan kondisi sebenarnya. Lembaga survei tak ubahnya alat politik untuk menaikkan dan menurunkan elektabilitas. Dari beberapa pilkada, termasuk di Jakarta, jelas sekali hasil survei tidak ubahnya alat untuk membangun opini. Hasilnya akan sangat tergantung siapa yang didukung oleh pemilik lembaga survei.
Dalam kalkulasi politik, jika Anies menggandeng Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, maka Ganjar hanya bisa menang jika menggandeng Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Dalam konteks ini, Prabowo akan bertugas sebagai destroyer basis suara Anies.
Persoalannya, sejauh ini Prabowo dan kader-kader Partai Gerindra tidak mau bergabung dengan PDIP. Apalagi jika Prabowo dipasang hanya sebagai bacawapres.
Dengan demikian hal paling realitis bagi PDIP adalah memaksa Anies mengambil AHY sebagai bacawapres. Sebab kekuatan pasangan ini masih mungkin dikalahkan oleh Ganjar-Sandiaga, atau Ganjar-Puan.
Pertanyaan terakhir, mengapa Demokrat terlihat antusias menyambut uluran tangan PDIP? Benarkah karena ingin meninggalkan KPP.
Untuk menjawabnya, perlu dipahami posisi Partai Demokrat yang tengah diganggu oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Demokrat harus super hati-hati karena penguasa bisa saja mutar-balik situasi seperti yang dilakukan Soeharto terhadap PDI di zaman Orde Baru.Bukankah apa yang dilakukan Moeldoko sama persis dengan Soerjadi ketika mengambil-alih PDI dari tangan Megawati?
Sebagai mantan Kasospol ABRI, SBY yang saat itu berpangkat Letnan Jenderal, paham betul akan hal itu. Meski tidak ada celah sedikit pun bagi Moeldoko, tapi jika penguasa berkehendak, maka bisa saja Demokrat berpindah-tangan.
Demokrat (baca: SBY) harus hati-hati dan memanfaatkan setiap celah agar hal buruk itu tidak terjadi. Tetapi bukan berarti Demokrat akan nurut dengan kemauan PDIP. SBY tidak akan "menjual" harga dirinya untuk kepentingan jangka pendek. Pertemuan "tidak sengaja" antara SBY dengan Presiden Jokowi di Gelora Bung Karno, adalah jawaban dari semua pertanyaan di atas.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H