Tidak perlu membuka "buku politik" untuk memahami makna di balik pemberian hadiah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Presiden Joko Widodo, yang juga petugas partai. Juga tidak perlu "tukang survei" untuk mengetahui rivalitas kubu Istana dengan kubu Lenteng Agung. Semuanya terlihat begitu gamblang.
Pemberian foto acara deklarasi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sebagai bakal calon Presiden (bacapres) dari PDIP di Batutulis, dalam bingkai besar dan cukup mencolok, di depan peserta Rapat Kerja Nasional PDIP di Sekolah Partai Lenteng Agung, 6 Juni 2023, memiliki dua makna tersembunyi.
Pertama, sebagai pengingat bahwa PDIP telah menunjukan petugas partai lainnya yakni Ganjar, sebagai bacapres. Sesuai prinsip partai sebagaimana sering dikatakan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, semua kader harus tegak lurus dan turut mengamankan keputusan ketua umum partai selaku pemegang hak prerogatif dalam menentukan capres yang diusung PDIP.
Sejarah mencatat, PDIP (baca: Megawati) tidak pernah ragu-ragu mengeluarkan kadernya yang mbalelo dari kandang banteng. Bahkan dibanding partai lain, ketegasan Megawati tidak ada duanya karena pernah memecat kader-kader terkenal sehingga sempat dispekulasikan PDIP akan terpuruk. Fakta menunjukkan, PDIP tetap moncer. Justru kader-kader terkenal itu yang langsung terpuruk setelah melepas atribut berlogo banteng moncong putih.
Kedua, sebagai teguran keras karena langkah politik Jokowi dinilai membahayakan loyalitas kader lainnya. Bahkan dalam bahasa yang lebih ekstrem, sikap politik Jokowi yang terkesan "mendua" dapat memecah dukungan kader partai terhadap Ganjar.
Seperti diketahui, selama ini Jokowi rajin meng-endorse Ganjar dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Setelah Partai Nasdem kekeh membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) bersama dua partai oposisi yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Pertai Demokrat, Jokowi menginginkan duet Ganjar dengan Ketua umum Partai Gerindra tersebut.
Namun PDIP dan Gerindra tidak sepakat terkait komposisinya. Sebab keduanya menginginkan kadernya yang menjadi capres. Jika berkoalisi dengan Gerindra, PDIP ogah hanya mendapat jatah cawapres. Demikian juga sebaliknya. Megawati akhirnya mengambil keputusan mendadak karena sepertinya tidak ingin "didikte" oleh petugas partainya.
Usai deklarasi Ganjar, Jokowi pun seperti terjebak oleh skenarionya sendiri. Mengapa Jokowi tetap ngotot ingin menyandingkan Prabowo dengan Ganjar, dapat dibaca di sini.
Bahkan Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi terang-terangan mengatakan Jokowi ragu Ganjar bisa memenangkan Pilpres 2024 jika hanya didukung PDIP dan PPP.
Ada perbedaan politik antara Istana dengan Lenteng Agung terkuak dengan jelas ketika Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi yang juga telah menjadi kader PDIP, menjamu Prabowo di rumah dinas. Jamuan itu berbuntut panjang karena setelahnya dilakukan deklarasi dukungan relawan Jokowi untuk Prabowo. PDIP pun meradang dan sempat memanggil Gibran untuk mengingatkan tentang keputusan partai yang harus dipatuhi oleh semua petugas partai.
Menarik mencermati langkah politik Jokowi setelah mendapat "teguran" secara simbolik oleh Megawati melalui foto dan senyumnya. Akankah Jokowi tetap pada pendiriannya dengan mengarahkan dukungan relawannya pada Prabowo? Beranikah Jokowi mbalelo?
Kita berharap langkah politik Sang Presiden tetap dalam koridor demokrasi. Keinginan Jokowi untuk tidak netral dan tetap cawe-cawe dalam menentukan calon penggantinya, berhenti hanya pada pengejawantahan hak politik pribadi tanpa menyeret lembaga kepresidenan.
Sebab jika sampai memanfaatkan celah hukum atau meminjam kekuasaan lembaga lain, semisal Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menunda Pilpres karena tidak sesuai dengan skenarionya, tentu akan memunculkan situasi lain yang sulit diprediksi.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H