Puluhan baliho bergambar bakal calon presiden (bacapres) Anies Rasyid Baswedan yang dipasang organisasi sayap Partai Nasdem di Jember, Jawa Timur, dirusak. Mulai main kayu setelah gagal menjegal?
Rasanya tidak sulit mencari siapa yang telah melakukan pengerusakan puluhan baliho Anies di Jember jika dikaitkan dengan beberapa fakta sebelumnya seperti narasi-narasi kotor di media sosial, penolakan kedatangan Anies di sejumlah daerah, hingga jargon-jargon rasial yang terlihat sangat terorganisir. Ini adalah bentuk teror terhadap demokrasi yang diduga dilakukan oleh kelompok-kelompok yang memiliki preferensi politik berbeda.
Tentu, dalam konteks politik, kita tidak mengabaikan adanya kemungkinan bagian dari playing victim. Oleh karenanya, sudah tepat ketika DPD Nasdem Jember melaporkan kasus ini ke polisi. Dengan demikian akan diketahui siapa pelakunya.
Kita berharap, pihak kepolisian dapat bekerja cepat dan tepat seperti halnya ketika menangani kasus-kasus yang diadukan pihak lain. Polisi yang mengayomi, netral, dan Presisi dalam menangani kasus, termasuk kasus-kasus politik, tentu menjadi dambaan kita bersama.
Mengapa serangan terhadap Anies Baswedan begitu masif dan kotor? Betulkah ini manifestasi kepanikan sekelompok orang yang takut kehilangan jabatan?
Pertanyaan itu muncul karena sebelumnya telah berkembang narasi agar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 hanya diikuti  2 pasangan. Narasi itu dihembuskan secara terbuka oleh sejumlah elit dalam barisan penguasa.
Skenarionya kemungkinan adalah memajukan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto melawan jagoan PDIP, entah Ketua DPR Puan Maharani ataupun Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sebab ada asumsi, melawan siapa pun, Prabowo dipastikan kalah. Jika pun terjadi kondisi tidak biasa sehingga Menteri Pertahanan itu menang, toh masih bagian dari status quo.
Upaya ini, di samping dinyatakan secara terbuka melalui media massa, juga melalui gerakan politik yang brutal, jauh dari fatsun dan etika politik.
Bahkan ketika Kepala Staf Kantor Presiden (KSP) Moeldoko berusaha merebut Partai Demokrat secara ilegal, tidak ada sanksi secara kelembagaan. Boleh saja berdalih tindakan Moeldoko bersifat pribadi, tanpa membawa-bawa istana. Â
Tetapi siapa pun yang paham aturan, dapat merasakan adanya pengaruh istana yang digunakan. Apakah Moeldoko memiliki pengaruh sebesar sekarang, andai dirinya tidak sedang menduduki jabatan kepala KSP?