Setelah pandemi, Â pada September 2020 angka kemiskinan Jakarta bertambah menjadi 496,84 ribu orang atau 4,69 persen.
Terakhir, pada September 2021 dengan jumlah penduduk miskin sebesar 498,29 ribu orang (4,67 persen). Secara jumlah bertambah namun prosentasenya turun. Â
Jika melihat statistik di atas, maka naik-turunnya angka kemiskinan di Jakarta hanya di kisaran 1 persen. Lalu bagaimana mungkin tiba-tiba di tahun 2023 melonjak menjadi 28,3 persen?
Mungkinkah Pj Gubernur Jakarta menggunakan rumusan tersendiri untuk menghitung angka kemiskinan yang berbeda dengan standar BPS?
Seperti kita ketahui, Â menurut BPS, per Maret 2022 Standar Kemiskinan adalah Rp 505.469 per kapita per bulan. Artinya jika tidak bisa memenuhi kebutuhan makan sebesar Rp 374.455 (74,08 persen), dan kebutuhan di luar makan sebesar Rp 131.014 (25,92 persen), maka orang tersebut masuk kategori miskin.
Dengan atandar tersebut, jika dalam satu keluarga terdapat 4 orang, maka keluarga itu harus memiliki penghasilan atau kemampuan belanja kebutuhan dasar minimal Rp 505.469 x 4 yakni Rp 2.021.876 per bulan. Jika tidak bisa memenuhi standar minimal tersebut, maka masuk dalam kategori keluarga miskin.
Sebagai warga Jakarta, kita senang jika lonjakan fantastis angka kemiskinan dimaksudkan untuk meningkatkan dana pembangunan, dan upaya-upaya komprehensif yang bertujuan mengentaskan kemiskinan.
Namun kita tegas menolak jika angka yang dibeber memiliki tujuan berbeda, seperti kepentingan politik 2024. Misal nanti di akhir tahun 2023 atau awal 2024 disebut  angka kemiskinan tinggal 4 persen sehingga muncul hero di sini. Â
Atau angka tersebut digunakan untuk melegitimasi bag-bagi sembako bergambar istana, partai, atau tokoh tertentu dengan sumber dana dari APBD dan APBN.
Kita sudah terlalu sering dijejali hal-hal demikian Kita membutuhkan data yang valid dan menggunakan standar serta metodologi yang berlaku umum, di semua daerah, siapa pun pemimpinnya.
Salam #yb
Link video di sini.Â