ERA kebebasan yang disusul lahirnya revolusi di bidang teknologi informasi tidak sertamerta menjadi berkah bagi dunia sastra, puisi maupun prosa. Kemudahan mempublikasikan dan menerbitkan karya sastra, disertai dengan kemudahan terjadinya plagiasi bahkan pencurian karya tulis.
Namun tidak ada kekuatan yang bisa menghentikan para sastrawan,penyair, juga seniman pada umumnya untuk berkarya. Karya sastra selalu memiliki cara untuk bertahan. Sejarah mencatat, puisi menjadi inang, tempat lahirnya revolusi politik dan sosial di dunia, dari Spanyol hingga Rusia, dari Polandia hingga Kuba.
Ketika revolusi memakan ibu kandungnya, puisi tetap eksis. Kembali ke fitrahnya sebagai penyemai revolusi berikutnya. Menjadi puisi perlawanan yang bergerak di bawah tanah.
Para penyair Indonesia lintas generasi tentu memiliki pengalaman bagaimana caranya puisi-puisi bisa lolos sensor di masa rezim orde baru.
Tahun 1996, saya bersama beberapa penyair dari Cilacap seperti Badruddin Emce dan Daryono Yunani punya pengalaman yang bisa menggambarkan hal itu. Seminggu sebelum acara pembacaan puisi di Gelangang Remaja, kami harus menyerahan puisi-puisi yang akan dibaca.
Apesnya, ada 3-5 puisi yang tidak lolos sensor. Namun kami bergeming dan mengancam tetap akan membacakan puisi yang antara lain berjudul Palestina. Akibatnya, sehari sebelum pementasan, gedung sudah dipenuhi intel dan kami kembali dipanggil untuk memastikan puisi-puisi tak lolos sensor tidak akan dibaca.
Era reformasi menjadi gerbang kebebasan. Pementasan puisi tidak memerlukan izin, kecuali pemberitahuan terkait keramaiannya saja. Tidak ada lagi sensor puisi yang akan dibaca atau diterbitkan.Â
Media massa juga tidak lagi membutuhkan SIUPP untuk terbit sehingga sastrawan memiliki banyak ruang publikasi. Meski istilah ini sudah ada sebelumnya, sastra koran benar-benar menemukan momentumnya di awal era reformasi.
Kehadiran internet membawa harapan baru di mana kemudahan menerbitkan karya sastra semakin luas. Booming media sosial yang dimulai tahun 2008, diikuti dengan munculnya blog-blog pribadi, microblogging seperti YouTube, dan blog keroyokan berbasis UGC (use gerenated content) seperti Kaskus, Kompasiana, Indonesiana, dan lain-lain, semakin memudahkan para sastrawan untuk mempublikaiskan karyanya baik teks maupun audio visual.
Sayangnya, era ini juga menjadi penanda turunnya kualitas karya-karya sastra yang dipublikasikan karena tidak ada lagi kurasi, zonder editor. Semua orang bisa menerbitkan karyanya (self publishing), kapan pun, di manapun. Pada saat bersamaan media-media cetak juga diterjang tsunami, sebagian mati dilindas gelombang zaman.