Meski demikian masih ada media-media mainstream yang tetap eksis dan memberi ruang untuk publikasi karya sastra bermutu plus memberikan honor yang pantas. Â
Tetapi yang lebih mengerikan dari revolusi teknologi informasi adalah penggunaan bahasa vulgar, hoaks, di ruang-ruang publik, khususnya media sosial. Ketika semua orang bebas memaki, karya sastra yang menggunakan bahasa simbolik, metafora, menjadi kalah garang. Untuk apa menggunakan metafora jika kita boleh memaki dengan bahasa paling vulgar, paling kasar?
Karya sastra yang pada era penguasa otoriter menjadi katarsis kegundahan dan juga protes, tidak cukup bergaung di era kebebasan. Saya termasuk yang kehilangan kepercayaan diri, juga passion (gairah), untuk bersastra, dan larut dalam bahasa-bahasa medsos manakala hendak menyampai kegelisahan.Â
Para penyair yang karyanya tergabung dalam antologi "Minyak Goreng Memanggil"pun sepertinya sudah terteror oleh hal demikian ketika mereka sepakat "menurunkan standar bahasa puisinya" agar dapat langsung dipahami orang awan, agar tidak kalah gahar dengan teriakan netizen di media sosial.
Tetapi saya tidak akan membahas apakah sastra harus menjadi bahasa pamlet, retoris, agar lebih dekat dengan rakyat, ataukah berhenti sebagai karya seni. Sudah banyak referensinya terutama dalam perdebatan besar di masa lampau antara Lekra dan Manikebu.
Saya lebih tertarik menyoroti pentingnya sastrawan memahami data dan fakta, sehingga karyanya tidak sebatas apa yang "dilihat", "didengar" dan "dirasa" khususnya ketika berbicara tentang kondisi sosial yang ada di sekitarnya. Saya tidak mengatakan karya yang hanya berdasar apa yang dilihat, didengar dan dirasa sebagai hal yang buruk. Konteksnya bukan di situ.
Saya kagum ketika dalam kata pengantar buku antologi "Minyak Goreng Memanggil" ada data tentang luas kebun sawit, jumlah produksi crude palm oil (CPO) dan lain-lain. Menurut saya ini luar biasa.
Tentu penyair tidak perlu berperan sebagai ahli ekonomi, politisi, dan lain-lain. Sudah punya kavling masing-masing. Tetapi karya yang tercipta dari rasa, barangkali akan lebih greget jika ditulis oleh penyair yang juga paham data secara faktual di balik persoalan-persoalan yang menggelisahkan hatinya.
Misalnya dalam kasus minyak goreng. Bukan hanya soal langka dan mahal, tetapi ada marwah kekuasaan, negara, yang dipertaruhkan.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, memegang kuasa (regulator) untuk mengendalikan harga. Pemerintah memiliki kuasa untuk mengendalikan produksi dan harga jualnya di dalam negeri melalui harga patokan atau yang kita kenal dengan istilah harga eceran tertinggi (HET).
HET dikeluarkan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan ongkos produksi, distribusi dan keuntungan pengusaha. Namun apa yang kita saksi belakangan ini? Pemerintah nyatanya tidak berdaya mengendalikan 6-7 pengusaha yang memanfaatkan lahan negara untuk usaha.Â