Aturan hukuman mati bagi pelaku korupsi di tengah bencana memang memungkinkan. Namun tersangka korupsi mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo terlalu berharga jika hanya dihukum mati.
Hukuman mati bagi koruptor menjadi impian masyarakat yang sudah putus asa melihat perilaku korup para pejabat. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah memasuki tahun ke-18 ternyata belum mampu menurunkan syahwat pejabat yang memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri.
Berapa pun hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi, belum memenuhi rasa keadilan masyarakat selain hukuman mati. Â Terlebih tindak pidana korupsi kedua mantan anggota kabinet itu dilakukan saat pandemi.
Tindakan Juliari Batubara dan Edhy Prabowo- kader Partai Gerindra, sudah memenuhi Pasal (2 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang secara garis besar memperbolehkan hukuman mati bagi pelaku korupsi.
Pendapat Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej yang menyebut Jualiari dan Edhy layak dituntut hukuman mati didasarkan pada ketentuan pasal tersebut. Â
Namun hukuman mati menjadi terasa "ringan" jika dikenakan pada Jualiari Batubara, mantan Wakil Bendahara PDI Perjuangan dan Edhy Prabowo, mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Ada hal lain yang lebih penting dari sekedar menuntutnya dengan hukuman mati.
Dalam kapasitasnya sebagai mantan menteri dan pengurus teras partai politik, baik Juliari maupun Edhy Prabowo diyakini memiliki banyak banyak informasi keterlibatan pihak lain dalam pusaran korupsi di Kementerian Sosial dan KKP.
Aliran dana korupsi menjadi sangat penting untuk mengungkap jaringan korupsi yang dilakukan. Pemberitaan sejumlah media yang didasarkan pada hasil investigasi yang kredibel dapat dijadikan dasar menelusuri benar-tidaknya peran sejumlah "orang kuat" di balik korupsi Juliari dan Edhy.
Oleh karenanya, daripada mewacanakan hukuman mati- terlebih dilontarkan oleh pejabat negara, lebih baik KPK memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk mengungkap jaringan yang menggerogoti paket bantuan sosial bagi warga miskin terdampak pandemi.
Sebab potensi dana yang diperoleh dari hasil menggigit paket bantuan sosial sungguh fantastis. Seperti diketahui, pemerintah menargetkan bansos sebanyak 21,6 juta paket di mana satu paketnya setara Rp 300 ribu. Juliari diduga menggigit Rp 10 ribu per paket. Artinya jika seluruh paket tersebut telah dibuat dan didistribusikan, Juliari berpotensi mengantongi Rp 216 miliar.