Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sulitnya Mencari Tokoh Pemersatu Oposisi

28 Januari 2021   14:36 Diperbarui: 30 Januari 2021   09:55 903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oposisi dalam sebuah negara demokrasi adalah mutlak. Tanpa oposisi sebagai penyeimbang, kehidupan demokrasi bak mati suri. Pemerintahan yang terlalu kuat tanpa kontrol rawan meenciptakan sekat yang mendistorsi makna demokrasi.

Oposisi umumnya berada di parlemen di mana ada partai politik pemilik kursi yang tidak bergabung dengan partai pendukung pemerintah. Namun oposisi juga dapat berada di luar parlemen dengan memiliki pijakan politik yang jelas dan terorganisir. Hal ini mengacu pada pengertian oposisi yakni penentang (penguasa).

Apakah situasi politik Indonesia saat ini membutuhkan oposisi yang kuat?

Mari kita cermati dulu komposisi anggota DPR. Saat ini mayoritas anggota DPR berasal dari partai pendukung pemerintah yakni PDI Perjuangan (128 kursi), Partai Golkar (85 kursi), Partai Gerindra (78 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB/58 kursi), Partai Nasional Demokrat (Nasdem/59 kursi) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP/19 kursi).

Kelompok oposisi yang terdiri dari Partai Demokrat (54 kursi), Partai Keadilan Sejahtera (PKS/50 kursi) dan Partai Amanat Nasional (PAN/44 kursi) hanya beranggotakan 148 dari 575 kursi DPR atau hanya sekitar 26 persen. Dengan jumlah itu, tentu tidak dapat mengimbangi kekuatan pemerintah.

Sialnya, sikap PAN sendiri tidak terlalu jelas. Partai yang diketuai Zulkifli Hasan itu tidak pernah menunjukkan sikap tegas. Bahkan perpecahan di tubuh PAN konon dipicu sikap ambivalen itu.

Sementara Partai Demokrat sepertinya lebih nyaman mengambil jalan tengah. Setelah Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada anak sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono,  Partai Demokrat tidak secara terang-terangan berseberangan dengan pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Praktis hanya PKS yang tetap vokal dan tegas sebagai oposisi.      

Kondsi ini tentu kurang sehat bagi pendidikan dan perkembangan demokrasi tanah air. Ketiadaan penyeimbang yang kuat, dapat mengembalikan DPR hanya sebatas "tukang ketuk palu" kebijakan pemerintah seperti di masa Orde Baru.

Untuk menjaga marwah dan membuktikan negara demokrasi maka tidak ada cara lain kecuali melahirkan kelompok independen di tengah masyarakat. Negara harus menjamin keberadaannya.

Bukankah di zaman Orde Baru yang totaliter dan militeristik saja masih ada LBH, Petisi 50 dan kelompok lain yang independen dan vokal terhadap sepak terjang pemerintahan Soeharto?

Benar, sesuai amanat konstitusi saat ini masih banyak lembaga independen yang eksis. Masih ada LBH, Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI), dan banyak lagi lainnya. Tetapi pada saat bersamaan kita pun tahu, begitu mudah para penggiatnya di-bully hingga ke keluarganya dan bahkan dijadikan tersangka dengan alasan-alasan yang masih dapat diperdebatkan dalam konteks demokrasi.

Padahal keberadaan lembaga-lembaga independen dibutuhkan juga oleh pemerintah.

Pertama, jika kritik atau ketidakpuasan disampaikan secara terbuka oleh orang atau kelompok yang kompeten, maka pemerintah bisa memberikan penjelasan atau bahkan mungkin mengoreksi kebijakan yang dianggap melenceng.

Kedua, sebagai katarsis, saluran individu maupun kelompok masyarakat  yang sedang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Bukankah jika hal itu disumbat justru akan mengendap dan terus membesar hingga suatu ketika bisa pecah tak terkendali?

Mari kita percaya pemerintah memberikan kebebasan kepada kelompok independen, atau dalam konteks ini kita sebut oposisi. Siapakah kira-kira yang akan menjadi pemimpinnya?

Ternyata tidak ada, atau belum ada figur yang tepat. Tokoh-tokoh yang saat ini berada di luar pemerintah sudah terlanjur mendapat label mengerikan seperti pendukung ISIS, anti-Pancasila, anti-keberagaman, intoleran, rasis, dan lain-lain. Stigma yang sepertinya memang sengaja disematkan untuk mematikan ruang geraknya sebagaimana label PKI di masa Orde Baru.

Kita membutuhkan figur yang bersih, setia pada NKRI dan koreksi atau kritik yang disampaikan kepada pemerintah tidak bertujuan untuk merusak tatanan dan sistem demokrasi yang telah susah payah dibangun.

Kita membutuhkan figur pemersatu oposisi yang berjiwa nasionalis, tegas dan memiliki wawasan luas.

Siapakah sosok itu?

Salam @tb

Tulisan ini telah dinarasikan di sini 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun