Bukankah di zaman Orde Baru yang totaliter dan militeristik saja masih ada LBH, Petisi 50 dan kelompok lain yang independen dan vokal terhadap sepak terjang pemerintahan Soeharto?
Benar, sesuai amanat konstitusi saat ini masih banyak lembaga independen yang eksis. Masih ada LBH, Koalisi Aksi Masyarakat Indonesia (KAMI), dan banyak lagi lainnya. Tetapi pada saat bersamaan kita pun tahu, begitu mudah para penggiatnya di-bully hingga ke keluarganya dan bahkan dijadikan tersangka dengan alasan-alasan yang masih dapat diperdebatkan dalam konteks demokrasi.
Padahal keberadaan lembaga-lembaga independen dibutuhkan juga oleh pemerintah.
Pertama, jika kritik atau ketidakpuasan disampaikan secara terbuka oleh orang atau kelompok yang kompeten, maka pemerintah bisa memberikan penjelasan atau bahkan mungkin mengoreksi kebijakan yang dianggap melenceng.
Kedua, sebagai katarsis, saluran individu maupun kelompok masyarakat  yang sedang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Bukankah jika hal itu disumbat justru akan mengendap dan terus membesar hingga suatu ketika bisa pecah tak terkendali?
Mari kita percaya pemerintah memberikan kebebasan kepada kelompok independen, atau dalam konteks ini kita sebut oposisi. Siapakah kira-kira yang akan menjadi pemimpinnya?
Ternyata tidak ada, atau belum ada figur yang tepat. Tokoh-tokoh yang saat ini berada di luar pemerintah sudah terlanjur mendapat label mengerikan seperti pendukung ISIS, anti-Pancasila, anti-keberagaman, intoleran, rasis, dan lain-lain. Stigma yang sepertinya memang sengaja disematkan untuk mematikan ruang geraknya sebagaimana label PKI di masa Orde Baru.
Kita membutuhkan figur yang bersih, setia pada NKRI dan koreksi atau kritik yang disampaikan kepada pemerintah tidak bertujuan untuk merusak tatanan dan sistem demokrasi yang telah susah payah dibangun.
Kita membutuhkan figur pemersatu oposisi yang berjiwa nasionalis, tegas dan memiliki wawasan luas.
Siapakah sosok itu?
Salam @tb