Di tengah kecemasan masyarakat melihat sebaran virus korona atau Covid-19 yang kian masif, pemerintah justru mewacanakan relaksasi atau pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang kini telah diberlakukan di sejumlah daerah. Lalu akan sampai kapan kita dalam dicengkeram pagebluk ini?
Relaksasi PSBB diwacanakan oleh Menko Polhukam Mahfud Md sebagai jawaban atas keluhan masyarakat yang mengalami kesulitan di selama penerapan PSBB.
"Kita tahu ada keluhan ini, sulit keluar, sulit berbelanja, sulit mencari nafkah dan sebagainya. Kita sedang memikirkan apa yang disebut relaksasi PSBB," ujar Mahfud melalui akun Instagram.
Menurut Mahfud, jika diberlakukan relaksasi PSBB maka akan ada sejumlah pelonggaran semisal rumah makan boleh buka, orang boleh belanja dengan protokol tertentu.
Kita paham, tugas pemerintah, salah satunya, adalah tidak mempersulit masyarakat dalam segala hal, apalagi terkait pemenuhan kebutuhan paling dasar. Tetapi adalah juga tugas pemerintah untuk memastikan kesehatan dan keselamatan warganya.
Dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, wacana relaksasi PSBB sebagai jawaban atas kesulitan masyarakat bukan hanya tidak tepat tetapi juga akan membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat itu sendiri.
Sebab, saat PSBB seperti sekarang ini saja masyarakat masih banyak yang terang-terangan melanggar apalagi jika kemudian dilonggarkan. Tidak ada jaminan juga setelah releksasi masyarakat tidak akan mengeluh lagi.
Inti persoalannya ada pada kebijakan pembatasan sosial, terutama PSBB, memang menyusahkan masyarakat dan memberikan dampak negatif terhadap semua sendi kehidupan, terutama ekonomi. Banyak yang terkekang, tidak bebas menjalankan ibadah keagamaan hingga kehilangan usaha dan pekerjaan.
Tetapi ini adalah konsekuensi yang harus diterima akibat pandemi. Tidak ada cara lain agar kita bisa mengatasinya karena belum ada vaksin untuk menyembuhkan.Â
Belum ditemukan cara yang tepat untuk menghentikan sebaran virus korona, selain pembatasan sosial dan menjaga jarak aman (physical distancing) antar manusia.
Kebijakan relaksasi akan dianggap sebagai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam memerangi pandemi. Mari kita lihat lagi alur hingga keluar kebijakan PSBB.
Pada awalnya sejumlah pejabat, termasuk Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, terkesan meremehkan keganasan virus korona. Bahkan Mahfud dan Menko Perekonomian Airlangga Hartato sempat membuat candaan virus asal Wuhan China tersebut tidak bisa masuk ke Indonesia karena izinnya berbelit-belit.
Ketika akhirnya ditemukan pasien positif yang diumumkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo tanggal 2 Maret 2020, perkembangannya sangat cepat.Â
Kini sudah semua provinsi terjangkit dengan pusat sebaran di Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan data yang dirilis pemerintah, per 22 Maret sudah ada 10.843 kasus positif, 1.665 sembuh dan 831 meninggal dunia.
Sejumlah daerah kemudian mendengungkan lockdown untuk menghentikan sebarannya. Namun pemerintah pusat menolak karena tidak ingin meniru negara lain.Â
Menurut Jokowi tiap negara memiliki ciri khas masing-masing, termasuk karakter masyarakatnya geografis dan kemampuan finansial. Jokowi menolak lockdown karena menghentikan semua kegiatan dan orang tidak boleh keluar rumah.
Lalu keluarlah kebijakan PSBB yang didasarkan pada UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Melihat alur dan alasannya maka kebijakan PSBB tentu sudah dipikirkan dampaknya. Oleh karenanya tolok ukur untuk menghentikan atau meneruskan PSBB sampai pandemi selesai adalah evaluasi terhadap keberhasilan atau kegagalannya, bukan karena muncul dampak yang sebelumnya sudah dipertimbangkan.
India tidak membatalkan lockdown hanya karena di awal terjadi kerumunan hingga keributan massa. India tetap menerapkan larangan yang ketat meski ada cerita-cerita miris seperti sejumlah orang yang terpaksa jalan kaki ribuan kilometer demi bisa pulang ke kampung karena di kota kelaparan.
Italia tidak menghentikan lockdwon meski mendapat kritik keras dari warganya setelah ribuan orang meninggal dan pemerintah sempat kewalahan melayani pemulasarannya. Demikian juga yang dilakukan China, Vietnam, Malaysia, Filipina dan negara-negara lain.
Banyak negara sudah membuktikan, dengan lockdown, dengan pembatasan sosial yang ketat, mereka bisa keluar dari wabah terkutuk ini. Mengapa pemerintah terkesan begitu "takut" mengeluarkan kebijakan yang mungkin tidak populer seperti PSBB total?Â
Padahal hanya itu jalan satu-satunya agar kita keluar dari pandemi ini karena vaksinnya belum ditemukan.
Jika kita masih terjebak pada pertimbangn-pertimbangan lain di luar upaya memerangi Covid-10, apalagi enggan mengambil langkah berani hanya karena tidak populer, kekuatiran kita akan menjadi negara terakhir yang berkutat dengan korona, mungkin benar-benar terjadi.
Salam @yb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H