Andai tidak ada pandemi virus korona atau Covid-19, kemungkinan Presiden Joko Widodo tidak akan mempersoalkan istilah mudik dan pulang kampung karena secara harfiah, dan juga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, keduanya memiliki arti atau maksud yang sama.
Namun karena terkait aturan, lebih tepatnya upaya untuk menjawab pihak-pihak yang mempertanyakan kebijakan larangan mudik yang dianggap terlambat karena sebelumnya sudah banyak warga yang meninggalkan Jakarta dan sekitarnya, termasuk kota-kota besar lain menuju kampung halaman, Presiden Jokowi sepertinya merasa perlu untuk membedakan istilah mudik dan pulang kampung. Â
Menurut Jokowi, mudik hanya untuk lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. "Kalau yang namanya pulang kampung itu bekerja di Jakarta tetapi anak-istrinya ada di kampung," ujar Jokowi dalam acara Mata Najwa.
Mari coba kita pahami maksud Presiden Jokowi terkait perbedaan pulang kampung dan mudik. Ada dua sudut kemungkinan yang dapat dijadikan alas bahasan.
Pertama, mereka yang sudah meninggalkan Jakarta dan sekitarnya, atau kota-kota besar lain menuju kampung halaman sebelum memasuki Bulan Ramadhan, dan anak istrinya di kampung, disebut pulang kampung. Sedang mereka yang pulang ke kampung halaman di bulan puasa hingga lebaran, sementara anak-istrinya di kota, disebut mudik.
Kedua, mereka yang pulang karena tidak ada pekerjaan di kota disebut pulang kampung dengan alasan tidak ada kepastian apakah akan kembali ke kota atau tidak. Sedang mereka yang pulang terkait ritual lebaran disebut mudik karena hanya sebentar dan akan kembali ke kota.
Dari dua sudut kemungkinan itu juga yang kemungkinan menjadi dasar penentuan tanggal larangan mudik 24 April namun diumumkan tanggal 21 April. Artnya ada jeda tiga hari untuk memberi kesempatan bagi yang ingin pulang kampung karena setelah 24 April sudah memasuki bulan puasa sehingga tidak ada lagi istilah pulang kampung, melainkan mudik dan dilarang.
Jika benar demikian, pertanyaan kita, bagaimana dengan pekerja di Jakarta atau di kota-kota yang telah menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) namun belum pulang sampai tanggal 24 April padahal anak-istrinya di kampung? Apakah mereka terkena larangan mudik ataukah diperbolehkan pulang kampung?
Kedua, apa sih sebenarnya tujuan larangan mudik? Bukankah untuk menekan atau melokalisir penyebaran virus korona? Pertanyaannya, bukankah tidak ada jaminan mereka yang pulang kampung tidak membawa virus? Bukankah belum ada metode yang bisa memastikan  mereka yang mudik pasti menjadi carrier Covid-19?
Di sini kita melihat ada "kegagapan" komunikasi. Jika tujuannya politis- bahasa politik, mestinya tidak disampaikan secara langsung oleh Presiden karena ketika menjadi kontroversi tidak ada lagi yang bisa mengoreksi.
Dalam penanganan wabah Covid-19, kita membutuhkan  ketegasan aturan agar mudah dipahami, diikuti dan dipatuhi. Jika pulang kampung diperbolehkan sementara mudik dilarang, bukan hanya menimbulkan kontroversi secara bahasa, namun juga kekacauan di lapangan.