Mohon tunggu...
Yon Bayu
Yon Bayu Mohon Tunggu... Penulis - memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

memaknai peristiwa dari sudut pandang berbeda | menolak kampanye kebencian atas nama agama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Strategi Militer Luhut Pandjaitan

21 April 2020   17:02 Diperbarui: 26 April 2020   05:24 19597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Joko Widodo resmi melarang mudik. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengibaratkan larangan mudik yang baru diberlakukan sekarang sebagai strategi militer. Benarkah?

Larangan mudik yang diputuskan hari ini cukup mengejutkan karena sebelumnya Jokowi maupun Luhut tegas menyebut tidak akan melarang mudik. Salah satu alasan pemerintah tidak melarang mudik adalah ekonomi. Menurut Jokowi, setelah penerapan pembatasan sosial ada kelompok warga yang penghasilannya turun atau bahkan tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan  lagi.

Alasan kedua, mudik sudah menjadi tradisi puluhan tahun.

Sementara Luhut yang juga Menteri Perhubungan ad interim pernah mengatakan telah memberikan masukan kepada Presiden agar tidak melarang mudik utama dengan alasan supaya ekonomi tidak mati sama sekali.

Luhut bahkan tegas menolak usulan Pemprov DKI yang akan melarangan bus antarakota beroperasi di Jakarta untuk membatasi sebaran virus korona karena saat itu Jabodetabek sudah menjadi zona merah, bahkan epicentrum Covid-19.

Meski tidak melarang, namun pada saat bersamaan pemerintah gencar mengimbau agar masyarakat tidak mudik. Sebagai kompensasinya, pemerintah menyiapkan instrumen jaring pengaman sosial untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.

Dalam perkembangannya, Presiden Jokowi kemudian melarang mudik bagi aparatur sipil negara, pegawai BUMN, anggota TNI dan Polri.  

Baca juga: Luhut Benar, Anies Harus Tegas!

Alasan-alasan di balik keengganan pemerintah melarang mudik akhirnya menjadi simalakama ketika puluhan ribu masyarakat tetap mudik, tidak peduli dengan imbauan pemerintah. Dalam waktu sekejap, sejumlah daerah melaporkan adanya warganya yang positif terinfeksi virus korona.

Alasan tradisi juga dianggap tidak tepat mengingat tradisi-tradisi lain, bahkan ibadah seperti jumatan di masjid, telah dilarang oleh institusi-institusi terkait.

Dan kini Jokowi telah resmi melarang mudik. Alasannya masih banyak warga yang bersikeras mudik. Mengutip survei yang dilakukan Kementerian Perhubungan, terdapat 24 persen warga yang tetap akan mudik.

Namun jalan tol dipastikan tidak akan ditutup. KRL juga tetap akan beroperasi. Hanya saja kendaraan umum dan pribadi dilarang keluar-masuk zona merah dan daerah yang telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).  

Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi akan ada sanksi bagi yang melanggar larang mudik. Sanksi tersebut didasarkan pada  UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Jika mengacu pada pasal 93, maka sanksi yang akan dikenakan berupa hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp 100 juta.  

Pertanyaan kita, masih efektifkan larangan mudik  setelah sebelumnya ribuan warga dari zona merah pulang kampung? Benarkah keputusan melarang mudik menambahkan panjang daftar keputusan yang oleh para pakar dianggap terlambat terkait penanganan Covid-19?

Luhut Pandjaitan memiliki jawabannya. Menurut mantan Komandan Group 3 Sandhi Yudha Kopassus ini, larangan mudik yang baru diputuskan hari ini merupakan strategi militer. Maksudnya, menurut Luhut, pemerintah melakukan strategi bertahap, bertingkat dan berlanjut.

"Semua dipersiapkan secara matang," ujar Luhut melalui konferensi pers virtual. Ditambahkan Luhut, jika diumpamakan proses militer, maka dilakukan terlebih dulu persiapan logistik, sosialisasi,   latihan, baru kemudian dieksekusi.

Sebagai prajurit TNI yang pernah bertempur di Timor Timur,  kita percaya dengan strategi militer Luhut. Tetapi apakah strategi itu efektif diterapkan di wilayah sipil dalam rangka melawan pandemi korona?

Fakta menunjukkan, sejak pengumuman resmi adanya dua pasien positif korona yang diumumkkan Presiden Jokowi 2 Maret lalu, jumlahnya terus bertambah. Hari ini, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto menyebut sudah ada 7.135 pasien positif, 842 sembuh dan 616 orang meninggal dunia.

Jangan lupa sejumlah pakar kesehatan, bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebut jumlah orang yang terinfeksi, termasuk yang meninggal dunia, lebih besar dari yang diumumkan pemerintah. Virus asal Wuhan China ini juga sudah tersebar di 34 provinsi.

Apakah demikian itu strategi militer? Apakah harus menunggu wabah merata dan korban berjatuhan sebelum kemudian dilakukan serangan (baca : eksekusi)?

Jangan-jangan ini bukan strategi militer melainkan hanya bagian dari strategi mengulur waktu dengan harapan segera ditemukan obat penangkalnya, atau akan terbentuk herd immunity. Jika benar demikian, alangkah apes kita sebagai warga negara!

Salam @yb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun