Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud Md menyebut pemerintah telah memutuskan untuk tidak memulangkan warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pertimbangannya adalah rasa aman bagi 267 juta penduduk Indonesia.
Menteri Koordinator bidangMeski tegas menyebut hasil rapat di Istana Bogor yang dipimpin Presiden Joko Widodo memutuskan tidak akan memulangkan foreign terrorist fighter (FTF) alias petempur teroris, namun tidak ada frasa yang menyebut 689 orang (berdasar data CIA) yang kini tinggal di berbagai pengungsian di Suriah, Irak dan Turki telah kehilangan kewarganegaaraan.
Bahkan Mahfud menyebut pemerintah masih akan mendata lebih detail dan tetap membuka kemungkinan memulangkan anak-anak tanpa orang tua yang masih berusia di bawah 10 tahun.
Pernyataan Mahfud cukup menarik jika dilihat dari sisi kewarganegaraan. Pemerintah sepertinya memang tidak mampu berkelit dari fakta bahwa UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tidak memberi ruang untuk mencabut status WNI ke -689 orang tersebut. Fakta ini sekaligus membungkam mereka yang dengan enteng mengatakan orang-orang itu bukan WNI lagi.
Dari pernyataan Mahfud (baca: pemerintah) jelaslah bahwa mereka masih tetap berstatus WNI tetapi pemerintah menolak memulangkan karena alasan faktor keamanan di mana mereka memiliki potensi menjadi teroris baru di Indonesia. Pemerintah lebih mengutamakan keamanan bagi 267 juta WNI yang berada di Indonesia.
Kita sepandapat, pemerintah harus berani mengambil keputusan tegas terkait keberadaan WNI eks ISIS. Pemulangan mereka bukan solusi dan memang sangat mungkin akan menimbulkan kegaduhan.Â
Jika pun bukan mereka yang menjadi teroris, bisa saja gangguan itu timbul dari pihak-pihak yang sudah antipati dan menganggap mereka sebagai teroris.
Tetapi kita menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan ambivalen. Sebab jika pemerintah masih mau mengakui mereka sebagai WNI, mestinya diberikan perlindungan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU.Â
Bukankah selama ini terhadap WNI yang sudah melakukan kejahatan di luar negeri, pemerintah juga tetap memiliki kewajiban untuk melindunginya?
Silahkan lihat kembali kasus-kasus pelaku pembunuhan yang dilakukan WNI di luar negeri dan bagaimana sikap pemerintah selama ini. Jika terhadap mereka yang sudah jelas-jelas melakukan kejahatan, melanggar hukum di negara lain, pemerintah sesuai amanat UU, masih berkewajiban melakukan pembelaan, mengapa hal yang sama tidak dilakukan terhadap mantan ISIS sementara belum ada bukti mereka melakukan kejahatan?
Bahwa ISIS itu kelompok teror, pemberontak, penjual ayat agama dan seabrek istilah kriminal lainnya, kita tidak menolak. Memang demikian itu adanya. Tetapi perbuatan ISIS (negara?) tidak bisa lantas dibebankan kepada seluruh "rakyatnya", apalagi sekedar simpatisannya.Â
Apakah seluruh rakyat Jerman, juga Jepang, menjadi pesakitan usai Perang Dunia Kedua karena negaranya secara sistematis melakukan kejahatan kemanusiaan?