Draft Omnibus Law dipenuhi poin-poin sangat kontroversial, terutama yang berkaitan dengan RUU Cipta Lapangan Kerja. Selain soal ketenagakerjaan yang dianggap lebih berpihak pada pemilik modal, ternyata juga mengatur mekanisme pemecatan kepala daerah.
Ketentuan Mendagri memiliki kewenangan memecat gubernur dan gubernur memecat bupati/wali kota, tertuang dalam pasal 529 ayat 3 setelah sebelumnya diberi peringatan hingga sanksi nonaktif sebagaimana dimaksud ayat 2.
Pemecatan kepala daerah tidak sertamerta, kecuali melakukan pelanggaran terhadap pasal 519, terutama poin keenam yakni "melaksanakan program strategis nasional". Artinya, jika ada kepala daerah dianggap tidak melaksanakan program pemerintah pusat, maka Mendagri bisa melakukan pemecatan tanpa keputusan DPRD setempat.
Semangat lahirnya draft itu adalah untuk memastikan kepatuhan kepala daerah kepada presiden. Pasal ini akan memaksa kepala daerah untuk memberi prioritas pada proyek-proyek nasional yang termasuk dalam kategori strategis.
Semangat itu ada baiknya jika melihat perjalanan reformasi selama 20 tahun terakhir di mana banyak kepala daerah yang mbalelo terhadap pemerintah pusat. Semakin tepat jika disandingkan dengan pemahaman bahwa kepala daerah, khususnya gubernur, adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Dasarnya, otonomi daerah berlaku di tingkat kabupaten/kota, bukan provinsi.
Tetapi menjadi ngawur ketika RUU Omnibus Law justru ditumpangi semangat untuk mengebiri sistem demokrasi yang sudah berjalan. Sedangkan wacana mengembalikan pemilihan gubernur ke tangan DPRD saja masih pro-kontra, sekarang justru mewacanakan untuk menempatkan gubernur sebagai "anak buah" Mendagri dan bupati/wali kota di bawah ketiak gubernur.
Pertanyaan paling mendasar, apa gunanya pemilihan langsung oleh rakyat jika hasilnya, produknya, dapat dengan mudah dicopot oleh pembantu presiden!
Terlebih dasar yang digunakan sangat subjektif. Ada dua hal yang perlu dikritisi terkait poin keenam dari pasal 519 itu.
Pertama, apa yang dimaksud dengan program strategis nasional? Apakah yang termasuk dalam rencana pembangunan jangka menengah/panjang (RPJM/P)? Atau semua proyek pemerintah pusat di daerah? Batasan terkait definisinya sangat longgar.
Kedua, Â bagaimana jika pemerintah daerah menolak karena merasa tidak cocok dengan kepentingan daerahnya? Sebagai contoh, "penolakan" Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X terhadap rencana pembangunan jalan tol yang membelah Kota Yogyakarta. Apakah kemudian Mendagri akan melengserkan Sri Sultan?
Jika demikian, jangan-jangan nanti seperti masa Orde Baru di mana daerah harus selalu sendiko dawuh terhadap pemerintah pusat. Lalu apa gunanya desentraliasi  yang kita gelorakan di awal reformasi?